Wednesday, March 9, 2016

Masa depan Israel

Menyatukan arab dan yahudi dalam dua buah negara yang damai tanpa saling mengganggu itu ibarat menyatukan minyak dengan air, suatu hal yang mustahil di mata negara Israel. Anda jadi Arab dan berpaham syiah, itu sangat mudah bagi Anda kehilangan nyawa jika tetangga Anda adalah penganut Wahabi, gimana halnya jika Anda seorang Yahudi? Maka dengan demikian Israel menganggap terdapat wilayah minimum yang dibutuhkan agar mereka mampu menopang keamanan warga yang berdiam di dalamnya, itulah yang sedang diperjuangkan saat ini: single jewish state across palestinian border. Israel harus menempuh cara-cara kotor demi menjamin kemaslahatan dan eksistensi mereka sebagai negara bagi bangsa Yahudi.

Ya, biar mudahnya yahudi cabut saja dari Israel, karena di kiri kanannya adalah tanah arab, dan sudah beberapa generasi Palestina itu memang wilayahnya orang arab. Namun sebuah keganjilan jika bangsa yang sudah berusia ribuan tahun ini tidak punya negara sendiri, sementara jika mereka berdiam di negara yang dikuasai oleh bangsa lain, hal yang mereka dapati adalah penindasan dan pembantaian. Di mana lagi Yahudi harus mendirikan negaranya kalau bukan di daerah yang menjadi lahan historis bagi keberadaan mereka: tanah yang dijanjikan Tuhan.

Defenisi Tuhan di sini pun tidak bisa kita pahami sebagai single entity yang menciptakan alam semesta, Tuhan yang kita maksud adalah Yahweh yakni Tuhan nya orang yahudi. Yahudi  merupakan sebuah bangsa yang mengimani agama tertentu. Dan dalam penafsiran kontemporer terhadap Taurat yang dipaparkan di Misnah, Yahudi tetap disebut sebagai yahudi kendatipun mereka tidak lagi mengimani Yahweh (Tuhan yahudi ini) karena status keyahudian ini diperoleh melalui garis ibu (matrilineal). Jadi seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai yahudi sudah seharusnya bisa melacak status keyahudian mereka hingga jauh ke beberapa generasi sebelumnya. Jadi tidak mungkin ada yahudi tiba-tiba seperti yang dituduhkan oleh beberapa penulis arab selama ini.

Israel juga sebenarnya tidak begitu rakus dengan wilayah hingga kemudian menganeksasi wilayah bangsa lain dengan serta merta. Semenanjung Sinai yang sebelumnya dikuasainya kemudian dikembalikan kepada Mesir karena Israel merasa bahwa daerah ini tidak terlalu berharga untuk dipertahankan, setidaknya jika ditinjau dari sudut pandang pertahanan. Namun kengototan Israel untuk mempertahankan Dataran Tinggi Golan dalam wilayahnya merupakan buah dari banyaknya tentara Israel yang dikorbankan untuk memperebutkan wilayah ini selama perang 6 hari. Dan pencaplokan wilayah ini oleh Israel kemudian membuka mata Syiria bahwa  mereka di ambang bahaya jika perang ini diteruskan. Mesir adalah negara di dunia ini yang begitu lunak  dengan Israel jika membahas soal Palestina. Hal ini terlihat dari tindakan yang mereka ambil ketika ada warga Palestina menyerobot untuk memasuki wilayah Mesir, yakni tembak mati.

Keengganan Mesir untuk mengambil Jalur Gaza menjadi wilayahnya makin memperjelas persoalan bahwa ini tidak sesederhana kelihatannya. Demikian pula keengganan Jordan untuk menampung penduduk Palestina yang notabene saudara-saudara mereka sesama bangsa Arab merupakan sebuah keganjilan. Penyebutan bangsa Palestina dalam nomenklatur makin memperkeruh suasana, loh emang selama ini ada yang namanya Bangsa Palestina, bukannya mereka semua sama-sama arab? Dikotomi Iran vs Irak memang wajar karena Iran sendiri didiami oleh Bangsa Persia sejak ratusan tahun, namun dikotomi Irak vs Arab atau Arab Saudi vs Kuwait semata-mata hanya dinamika semu kesejarahan mengingat kedua negara tersebut sama-sama diduduki oleh bangsa Arab. Lantas mengapa rakyat Palestina dibiarkan punah berjuang dengan kebodohannya jika negara-negara kaya minyak ini bisa memberikan alternatif yang lebih realistis dan manusia yakni dengan menyerap rakyat Palestina sebagai penduduk dari wilayahnya?

Monday, March 7, 2016

Beberapa alasan untuk tidak lagi memilih Ahok sebagai Gubernur

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (angkuh)." (QS. Luqman:18)

Berikut ini beberapa point penting mengapa saya tidak menyukai Gubernur Ahok.

1. Gubernur Ahok terkesan sombong dan memandang rendah kaum pribumi. Gubernur Ahok menyatakan pernyataan semisal, “Kalau tahun depan terbukti ada (calon gubernur) yang lebih adil dan lebih jujur daripada saya, jangan pilih saya. Inilah ajaran nabi, bukan memanipulasi orang ikut dia membabi buta, tetapi dikasih pencerahan.” (sumber)

Dalam pernyataannya ini secara implisit Gubernur Ahok ingin menunjukkan pada kita bahwa tidak mungkin ada lagi gubernur yang bakal lebih adil dan lebih jujur ketimbang dia. Dia menganggap calon gubernur selain dia bakal melakukan kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang dibuat oleh gubernur-gubernur sebelumnya: malas, kurang praktis hanya bisa berteori, suka KKN, tidak bisa melepaskan diri dari jeratan kongkalikong antar kolega dekat, dan banyakan hanya melakukan kebijakan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kolega dekat.

Saya juga kurang setuju dengan pernyataan beliau yang mengatakan bahwa dia jujur, sebab apakah benar selama ini Gubernur Ahok sudah jujur? Sejujur-jujurnya orang china, selalu saja tertanam dalam mindsetnya tabiat nyari untung, dan kita tidak mungkin bisa jujur sekaligus nyari untung, harus salah satunya dikorbankan. Mungkin juga ini berlaku pada diri Gubernur Ahok, who knows?

Sikap Gubernur Ahok yang menolak saran Megawati Soekarnoputri untuk mengambil Boy Sadikin sebagai wakilnya merupakan bentuk arogansi  paling nyata dari beliau. Gubernur Ahok seolah lupa bahwa tanpa peran PDI-P sebagai mesin politik, maka Gubernur Ahok sama sekali tidak bisa menjadi DKI-1 saat ini dan masih berjuang menjadi jagoan kampung di Belitung. Naiknya Ahok menjadi Gubernur DKI tidak bisa dipungkiri merupakan tuah dari posisinya sebagai wakil dari Jokowi, dan popularitas Jokowi sebagian besar disumbang oleh posisinya yang berasal dari etnis pribumi mayoritas di Jakarta, suku jawa. Silakan Gubernur Ahok melakukan survei untuk mencari tahu latar belakang etnis/suku di DKI, berapa persen china, berapa persen jawa, berapa persen betawi, Kristen, arab, Islam, dll, baru kemudian Gubernur Ahok bisa mengambil kesimpulan apakah naiknya dia di singgasana DKI-1 karena popularitasnya semata, atau karena kecipratan rejeki dari rumah sebelah. Dan kesuksesan Jokowi waktu Pilkada kemarin juga tidak bisa lepas dari peran partai sebagai mesin politiknya. Andaikan Jokowi maju dari partai PKS, PKB, atau PPP maka ceritanya kemungkinan bisa lain mengingat partai-partai tersebut kurang populer di pulau jawa ini. Coba bandingkan figure Jokowi dengan figure jawa lainnya (misalnya Dahlan Iskan) yang peruntungan nya berbeda hanya karena menunggangi mesin politik yang berbeda. Jokowi bisa naik jadi DKI-1 tidak lepas dari peran media yang melakukan ekspose besar-besaran terhadap figur beliau, dan media sendiri merupakan bagian dari mesin partai secara keseluruhan.

Demikian pula sikap Gubernur Ahok yang kemudian menyerang balik partai yang menjadi pengusungnya dalam Pilkada DKI lalu, adalah sebuah arogansi yang sama sekali bertentangan dengan sila kedua Pancasila. Padahal yang dibutuhkan di Indonesia ini bukan sekedar tokoh yang jujur dan adil saja, akan tetapi tokoh yang bisa fit dengan sistem yang sudah ada. Walaupun dia paling jujur dan paling adil sekalipun kalau eksistensinya hanya memberi mudarat bagi sistem, maka politik itu ibarat sistem imun tubuh kita, orang seperti itu akan disingkirkan. Gubernur Ahok membuat banyak langkah yang seperti ingin menabrak status quo yang dimiliki oleh partai politik. Belum hilang dari ingatan bagaimana Gubernur Ahok mengambil sikap berseberangan dengan Partai Gerindra, kini PDI-P lagi yang harus digurui tentang tata cara berpolitik.

Soal adil, saya juga kurang yakin apakah Gubernur Ahok merupakan figur yang adil. Sebab seadil-adilnya orang China tetap dia punya kecenderungan untuk membela orang China ketimbang etnis pribumi. Andaikan Indonesia perang dengan RRC saat ini, saya tidak tahu sikap apa yang bakal diambil oleh Gubernur Ahok, apakah membela RRC atau Indonesia. Atau jangan-jangan dia meniru Alberto Fujimori bakal lari kembali ke Belitung karena hanya mau cari aman. Orang China setau saya begitu gampang menjudge nasib orang lain, begitu dirinya ditimpa masalah yang sama, dia kemudian panik dan bingung sebelum kemudian menghalalkan segala cara untuk  keluar dari masalah.

Hal ini pula yang saya jumpai pada kasus Kalijodo kemarin: yang miskin digusur dan yang kaya dibiarkan. Di Jakarta ada banyak tempat prostitusi terselubung yang bisa dengan mudah dijumpai dan statusnya sebagai tempat prostitusi sudah menjadi rahasia umum. Pernahkah ada ikhtiar dari Gubernur Ahok untuk menggeledah tempat-tempat seperti itu? Saya yakin soal bukti bisa dihadirkan karena banyak pengunjung tempat-tempat seperti itu yang bisa ditanyai sebagai saksi. Yang jadi masalah adalah niat dari Gubernur Ahok sendiri, apakah Gubernur Ahok punya niat yang tulus untuk memberantas prostitusi tanpa pilih kasih, atau jangan-jangan dia enggan untuk melakukannya karena faktanya tempat-tempat seperti itu dimiliki oleh keturunan China. Jadi tindakannya untuk menggusur Kalijodo kemarin merupakan buah kegerahannya atas hadirnya tempat-tempat kumuh di DKI Jakarta.

Jika kemudian Gubernur Ahok berdalih bahwa tindakannya itu bukan ditujukan untuk memberangus aktivitas prostitusi, akan tetapi untuk membersihkan jalur hijau dari bangunan-bangunan ilegal, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah bisa Gubernur Ahok yang adil dan jujur ini berani menggusur Mall Taman Anggrek (dan beberapa mall lainnya) yang notabene bediri di kawasan jalur hijau (baca poin 2), atau dia enggan juga karena yang punya itu keturunan China---saya masih tunggu ketegasan Gubernur Ahok yang seperti katanya di biografinya bahwa dia tidak takut dengan siapapun selama dia berpegang di jalan Tuhan.

2. Gubernur Ahok tidak punya kepekaan dengan penduduk pribumi. Saya setuju dengan visi dari Gubernur Ahok yang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih dan modern. Namun hal yang paling penting sebenarnya bukan soal bersih saja akan tetapi soal kesejahteraan penduduk. Bagaimana bisa tinggal di kawasan yang bersih jika buat cari makan saja susah. Saya rasa itu terlalu naif jika Gubernur Ahok mengatakan bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta cukup rendah dengan hanya berpatokan pada angka kuantitatif soal defenisi garis kemiskinan misalnya dengan punya pendapatan minimal  1 juta sebulan. Sebab coba Gubernur Ahok menggunakan data real di lapangan. Berapa persen penduduk Jakarta yang punya pendapatan per bulan di atas 1 juta. Kemudian kurangi nilai satu juta ini dengan biaya sehari-hari untuk hidup di Jakarta, mulai dari kontrakan (paling murah 500 ribu),  transportasi perhari (kurang lebih 10 ribu) dan uang makan (kurang lebih 20 ribu perhari) maka nilai satu juta sebulan itu boleh dibilang adalah hal yang nihil. Maksudnya adalah jika gaji kita hanya 1 juta bulan, maka adalah hal bodoh jika 500 ribu nya digunakan untuk bayar kosan. Bukankah lebih baik jika ditabung atau digunakan untuk keperluan-keperluan lainnya? Maka jangan heran jika banyak penduduk Jakarta memilih tinggal di bangunan-bangunan instan (baca:gubuk) yang banyak dijumpai di sepanjang rel komuter (saya kurang tau apakah Gubernur Ahok pernah naik komuter) karena mereka ingin menyisihkan pendapatannya yang tidak seberapa itu untuk keperluan lain alih-alih bayar kosan. Dan kalaupun mereka memilih tinggal di bawah jembatan, maka itu adalah hal yang masuk akal, karena buat apa tinggal jauh-jauh dari tempat kerjaan hingga bayar ongkos transportasi ke sana-kemari sementara kebutuhan dasar saja masih susah. Masa gaji hanya habis buat sewa angkot?

Saya mengendus adanya konspirasi di sini, di mana penduduk asli Jakarta yakni suku betawi coba disingkirkan, entah dengan penggusuran atau dengan memutus mata pencaharian mereka dengan memindahkan mereka ke rumah susun. Sebab jika kita sudah tinggal di kawasan rumah susun maka yang terjadi adalah kita akan kesulitan mendapatkan penghasilan tambahan yang bisa kita dapatkan saat rumah kita berada di pinggir jalan raya yang ramai dilalui oleh orang-orang. Dan ini otomatis dengan sendirinya membuat kita kemudian mencari lahan basah yang lain yang bisa saja jauh dari habitat asli. Implikasinya suku betawi yang tadinya merupakan suku asli Jakarta sudah tercerai-berai, eksodus kemana-mana karena kampung halaman mereka sudah berganti menjadi bangunan apartemen. Sementara mereka tidak bisa menyesuaikan pendapatannya agar bisa menempati apartemen tersebut. Ondel-ondel diganti dengan Gangnam Style.

Indonesia tidak sepenuhnya negara kapitalis di mana pemilik modal yang berhak menentukan peraturan. Indonesia adalah negara Pancasila di mana “the founding father” negara ini yang sebagian besar bukan orang China merupakan orang yang punya kecenderungan besar jadi komunis, namun kemudian memilih sosialis lantaran terbentur latar belakang agama. Jadi jika kemudian kebijakan-kebijakan yang ada lebih condong pada pemilik modal, maka bukankah itu sudah mencederai apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini? Kosep the founding father ini sudah sepaket dengan konstitusi bahkan di negara-negara yang paling liberal sekalipun. Karena itu lah yang menjaga negara agar tetap berada pada defenisi nya. Tanpa konstitusi negara akan tercerai berai, sementara tanpa adanya penjunjungan pada pendiri bangsa maka negara akan kehilangan militansi. Negara tanpa militansi lebih baik dibubarkan!

Saya mengusulkan kepada pembaca kompasiana di sini, jika ada yang punya waktu, bisa melakukan penyelidikan independent tentang nasib para penduduk yang terusir ke rumah susun tersebut. Bagaimana nasib mereka, bisa dilakukan survei yang hasilnya disusun ke dalam laporan dalam format pdf atau dibuatkan sebuah film dokumenter (bisa diunggah di youtube atau academia). Bagaimana nasib penduduk tanah abang setelah menempati Rusun Marunda, apakah masih tetap di rumah susun itu, atau kemudian pulang kampung. Jika yang digusur adalah suku jawa dan kemudian ketika dipindahkan ke rumah susun mereka tidak betah sehingga kemudian memilih pulang kampung, mungkin masuk akal, namun bagaimana jika yang digusur ini suku betawi? Suku betawi mau lari ke mana? Suku betawi susah cari makanan, jadi transmigran juga dilema karena jauh dari kampung halaman dan sanak keluarga. Pada akhirnya suku betawi ini beserta budayanya akan punah karena tersingkirkan oleh hadirnya pendatang-pendatang yang berkantong tebal. Di Indonesia ini hewan saja dilindungi, apalagi manusia?

Model pemukiman ala rumah susun menurut saya kurang tepat jika diterapkan pada penduduk negara yang masih berkembang seperti Indonesia. Kalo meniru situasi di Eropa, bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal biasanya maksimal hanya terdiri dari lima lantai, namun saya kurang tahu apakah ini bisa cocok diterapkan di Indonesia. Bangunan rumah susun khas pencakar langit kurang cocok karena banguan jenis ini memangkas kemungkinan penduduknya untuk menggunakan lahan tempat tinggal sekaligus sebagai lahan investasi. Bangunan tersebut hanya cocok untuk negara-negara industrialis seperti RRC.

Penetapan jalur hijau dalam program Jakarta Smart City juga seolah membenarkan dugaan saya bahwa jalur hijau diadakan untuk membersihkan kawasan kumuh di DKI, sekaligus memberi lahan seluas-luasnya bagi para pendatang berkantong tebal untuk menempati lahan tersebut. Mengingat banyak rumah yang berada di daerah jalur hijau ternyata mempunyai sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang menentukan bahwa Mall Taman Anggrek masuk jalur biru dan aman dari penggusuran, sementara Kalijodo masuk jalur hijau dan harus digusur, kalau bukan sekedar preferensi Gubernur Ahok semata. Pertanyaan yang saya tujukan ke benak pembaca, apa parameter objektif yang bisa kita gunakan untuk membedakan antar daerah yang harus masuk jalur hijau dengan daerah yang harus masuk zona biru? Apakah program zonasi ala Jakarta Smart City ini sudah melalui persetujuan DPRD mengingat ini menyangkut masalah pertanahan yang berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat atau hanya kesewenang-wenangan pemerintah yang dimotori Gubernur Ahok?

3. Gubernur Ahok suka menabrak aturan. Tindakan Gubernur Ahok yang mengucapkan kata-kata kasar, misalnya “tahi” merupakan hal yang melanggar undang-undang di Indonesia ini.

4. Gubernur Ahok suka menggunakan aturan sebagai alat untuk membunuh lawan-lawannya. Jika di Jaman Soeharto kita sering mendengar orang yang dijerat pasal Subversif, maka hal yang sama terjadi di masa Gubernur Ahok. Kediktatoran yang bersumber pada ego pribadi kemudian dilampiaskan dengan menggunakan tameng peraturan. Dalam sepakbola kita sudah tahu kendatipun ada handsball di kotak penalti dan pertandingan lagi seru sama-sama kuat dan kedudukan lagi imbang, biasanya sang wasit memilih untuk mengambil langkah manusiawi untuk tidak menunjuk titik putih, karena itu akan mematikan pertandingan. Nah seharusnya contoh ini bisa diambil oleh Gubernur Ahok untuk tidak menjadi Soeharto jilid dua. Kepala sekolah di PHK, bawahan dipidanakan, lurah dimutasi dan lain-lain kesewenang-wenangan yang dilakukan demi memenuhi ego pribadi yang katanya harus memaksakan bawahannya agar tunduk pada aturan padahal bisa saja motifnya masalah pribadi (bukan “nothing personal”). Apa susahnya diberi surat peringatan: peringatan satu, peringatan dua, peringatan 3. Masa PNS yang sudah golongan IV dipecat hanya karena sering lambat masuk?

Memang harus diakui bahwa peraturan di Indonesia ini punya banyak kelemahan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang jeli sehingga orang-orang seperti Pak Yusril Ihza Mahendra yang juga dari belitung seperti menertawai kesilapan Gubernur Ahok yang harus-harus ngotot-ngototan untuk melakukan pengumpulan KTP ulang, karena katanya harus sesuai dengan konstitusi. Namun itu bukanlah jadi dalil kita untuk kita untuk “meng-kadali” negara atau sebaliknya bertindak sebagai negara.

6. Gubernur Ahok kurang bisa menepati janji. Masih segar di ingatan saya janji Gubernur Ahok untuk menertibkan kawasan jalur hijau lainnya, yakni mall Taman Anggrek. Saya tunggu apakah benar janji ini bisa direalisasi, atau hanya sebatas janji tinggalah janji. Jika benar ini bisa direalisasikan, maka saya bersumpah untuk tawaf keliling monas 10 kali sambil bugil tanpa sehelai benang pun yang menutupi (lihat kembali poin 2).

Karena sejujurnya saya tidak mempermasalahkan soal identitas Ahok yang Kristen sekaligus China, yang saya permasalahkan adalah sikap tidak bisa berlaku adil dan main tebang pilih ini, sekaligus kurang peka dengan situasi orang lain, hanya bisa menjudge.

Tuesday, March 1, 2016

Program Java: Menentukan determinan matriks dengan menggunakan Uraian Laplace

Tutorial ini sebenarnya ini merupakan penulisan kembali tutorial yang saya buat sekitar tahun 2010 tentang penggunaan rekursif dalam pemrograman. Waktu itu saya membuat sebuah program yang entah kenapa begitu istimewa--setidaknya untuk ukuran saya. Kenapa begitu istimewa, adalah karena program yang saya buat tidak pernah ditemukan dalam buku ajar manapun di seluruh dunia. Yang artinya program yang saya buat adalah orisinil temuan saya.

Ternyata setelah saya selidiki metode ini sudah dibuat oleh beberapa orang--berdasarkan tanggal posting artikel. Contohnya satu di link ini---beberapa post yang dibuat lebih awal dari post saya ini dibuat sesudah 2010 ketika saya sudah menemukan metode ini, ini contohnya. Namun pada Tahun 2010 itu saya sudah browsing di google dan saya buka beberapa halaman tidak ada tutorial yang mirip. Jadi waktu itu saya simpulkan, sayalah orang pertama yang membuat/menulis Uraian Laplace di java (komputer). Anggap saja (biar tidak dianggap takabur) apa yang saya lakukan pada waktu itu merupakan proses menemukan kembali (reinventing).

Sebenarnya kalo dipikir-pikir kesulitan dalam implementasi algoritma ini tidak ada yang terlalu sulit. Asalkan kita cukup memahami rekursif, maka kita tentu dengan mudah mengimplementasikannya ke dalam program. Yang membuat program ini heboh adalah dari segi popularitas Uraian Laplace sendiri yang merupakan metode yang digunakan untuk menghitung determinan matriks.

Bayangkan sejak ditemukannya komputer, hingga tahun 2010 belum ada manusia di dunia ini yang sempat memikirkan bagaimana mengimplementasikan Uraian Laplace dalam menghitung determinan matriks, hehe.

Tanpa perlu berbasa basi saya berikan saja source code nya dan pembaca selanjutnya bisa melakukan verifikasi yakni dengan membandingkan hasil perhitungan program saya ini dengan hasil perhitungan MATLAB dalam menghitung determinan matriks.

Jadi program saya itu adalah sebagai berikut:
public class LaplaceExpansion {
 
 public static void main(String[] args){
  
  double[][] mm = { {2,5,6,7, 12} , 
        {3,4,56,6, 6} , 
        {1,2,3,1 ,23} , 
        {4,5,6,12,11},
        {4,2,1,3,5}
  } ; 
  
  Matrix mat = new Matrix(); 
  double det = mat.determinant(mm); 
  System.out.println(det); 
 }
 
 public static void printMatriks(double[][] matriks){
  for(int i=0; i < matriks.length; i++){
   for( int j=0 ; j < matriks[0].length; j++){
    System.out.print( matriks[i][j] + "\t|\t" ); 
   }
   System.out.println(); 
  }
 }
 
}

class Matrix{
 double[][] matrix; 
 public Matrix(double[][] matriks){
  this.matrix = matriks; 
 }
 
 public Matrix(){
  
 }
 public double determinant(double matriks[][]){
  if( matriks.length == 1 && matriks[0].length == 1){
   return matriks[0][0]; 
  }
  double result = 0.0 ; 
  for(int i=0; i < matriks.length; i++){
   int baris = i +1; 
   int kolom = 1; 
   int  sign = (int) Math.pow(-1 , baris + kolom ); 
   result = result +   (sign * matriks[i][0] * 
     determinant(removeRowColumn(matriks, i, 0))) ; 
  }
  return result; 
 }
 
 public double[][] removeRowColumn( double[][] matriks , int row , int column ){
  double[][] result = new double[matriks.length - 1]
       [matriks[0].length - 1];
  int m = 0; 
  for(int i = 0 ; i < matriks.length; i++ ){
   if(i!= row){
    int n = 0; 
    for(int j= 0; j < matriks[0].length; j++ ){
     if( j != column){
      result[m][n] = matriks[i][j]; 
      n++;
     }
    }
    m++;
   }
  }
  return result; 
 }
}
Saya belum pernah melakukan benchmarking tentang efisiensi implementasi saya ini. Yang jelas secara singkat bisa kita lihat bahwa implementasi ini akan menghasilkan kompleksitas O(N log N) yang jika dibandingkan dengan metode Gauss-Jordan (yang juga digunakan dalam menghitung determinant matriks) dengan kompleksitas O(N^3) tentu lebih efisien.

Thursday, February 11, 2016

Bagaimana membahasakan bilangan dengan JavaFX

Ok saudara sekalian, tanpa berbasa-basi saya akan memberikan sebuah tutorial yang cukup sederhana mengenai bagaimana membuat program yang bisa membahasakan bilangan. Yakni ketika dimasukkan sebuah bilangan maka akan dikeluarkan bagaimana mengucapkannya dalam Bahasa Indonesia. Sebenarnya ini soal klasik. Kalo pembaca sekalian sudah pernah membuat compiler, maka pembaca skip saja tutorial ini. Prinsip kerjanya hampir sama dengan kompiler dalam hal memparsing text dan memetakan nilainya. Dan kalo pembaca benar-benar ingin membuat compiler, ada banyak contoh source code nya di internet.

Namun saya kemarin pernah menjumpai sebuah link di internet tentang sebuah program yang dapat mengcompile segala kemungkinan bahasa pemrograman yang ada. Jadi apapun bahasa pemrograman yang Anda buat, dan bisa dijalankan pada Mesin Turing, maka itu bisa digenerate menggunakan kompiler buatan mereka tersebut. Yakni dengan mengeset sejumlah perintah khusus pada macro nya.

Jadi apa yang saya buat kali ini ga ada sangkut pautnya dengan sebuah pamer keahlian. Saya hanya berbagi rasa. Kali aja ada mahasiswa yang mendapat soal seperti ini (misalnya dari wawancara kerjaan atau tugas dari dosen). Ya, tinggal dihapal aja source code nya dan Anda mendapatkan pekerjaan dengan gaji 7 juta sebulan atau mendapatkan nilai yang bagus.

Tapi kebetulan program bukan manusia, maka tidak selamanya bisa meniru kompleksitas otak manusia. Program itu jalannya logis aja, sementara manusia punya free-will. Bahkan programmer di Facebook yang jumlahnya ratusan tidak bisa menghasilkan translator yang layak pakai buat dipake mentranslate Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam program yang saya buat ini ada sedikit kelucuan yang diakibatkan jalannya yang logis logis aja. Misalnya 21 itu kan memang sudah seharusnya dibahasakan dua puluh satu. Yang heran manusia mengadakan pengecualian, yakni 12 bukannya dibahasakan satu puluh dua melainkan dua belas. Saya tidak perlu memasukkan pengecualian tersebut ke dalam program saya, karena ini hanya sebatas tutorial. Kalo iya, tentu saya sudah bisa menjual program saya ini di pasaran dan mendapatkan uang ketimbang sekedar pahala.  Berikut video hasil running program tersebut:

Adapun source code nya adalah:

import java.util.ArrayList;
import java.util.HashMap;

import javafx.application.Application;
import javafx.event.ActionEvent;
import javafx.event.EventHandler;
import javafx.scene.Scene;
import javafx.scene.control.Button;
import javafx.scene.control.TextField;
import javafx.scene.layout.AnchorPane;
import javafx.scene.layout.HBox;
import javafx.scene.layout.VBox;
import javafx.scene.text.Text;
import javafx.stage.Stage;


public class BilanganToKalimat extends Application{
 
 public String  printBilanganToKalimat(int a ){
  
  HashMap map1 = new HashMap<>(); 
  map1.put(1, "satu"); 
  map1.put(2, "dua");
  map1.put(3, "tiga"); 
  map1.put(4, "empat"); 
  map1.put(5, "lima"); 
  map1.put(6, "enam"); 
  map1.put(7, "tujuh"); 
  map1.put(8, "delapan"); 
  map1.put(9, "sembilan"); 
  map1.put( 0 , ""); 
  
  HashMap map2 = new HashMap<>();
  map2.put(0 , "" ); 
  map2.put(1, "puluh" ); 
  map2.put(2, "ratus" ); 
  map2.put(3, "ribu" ); 
  map2.put(4, "puluh ribu" ); 
  map2.put(5, "ratus ribu" ); 
  map2.put(6, "juta"); 
  map2.put(7, "puluh juta");
  map2.put(8, "ratus juta"); 
  map2.put(9, "miliar"); 
  map2.put(10, "puluh miliar"); 
  map2.put(11, "ratus miliar"); 
  
  
  int m, n; 
  String st = Integer.toString(a); 
  n = m = st.length() - 1;  
  
  StringBuilder builder = new StringBuilder(); 

  ArrayList lst = new ArrayList<>(); 
  
  while( n >=0  ){
   int c =  st.codePointAt(n); 
   c = c - 48; 
   builder.append(map1.get(c)); 
   builder.append(" "); 
   
   if( c!= 0){
    String sebutan = map2.get(m - n); 
    String[] sss = sebutan.split("\\s"); 
    if(sss.length == 2){
     if(!lst.contains(sss[sss.length - 1])){
      builder.append(sebutan); 
      lst.add(sss[sss.length - 1]); 
     }else{
      for( int j = 0; j < sss.length - 1; j++)
       builder.append(sss[j] + " "); 
     }
    }else{
     builder.append(sebutan); 
     lst.add(sebutan); 
    }
    
    builder.append("_");  
   }
   n--; 
  }
  
  String temp[] = builder.toString().split("\\_"); 
  StringBuilder bt = new StringBuilder();
  for( int i = temp.length - 1; i>= 0; i-- ){
   bt.append(temp[i]); 
   bt.append(" ") ; 
  }
   return bt. toString(); 
 }
 
 public static void main(String[] args){
  launch(args);
 }

 @Override
 public void start(Stage primaryStage) throws Exception {
  
  AnchorPane pane = new AnchorPane(); 
  pane.setPrefSize(400, 400); 
  primaryStage.setScene(new Scene(pane));
  
  primaryStage.show();
  initLayout(pane); 
 }
 
 Text area = new Text(); 
 
 private void initLayout(AnchorPane pane){
  
  VBox box = new VBox(); 
  box.setSpacing(10);
  
  TextField input = new TextField(); 
  input.setPrefSize(150, 30); 
  box.getChildren().add(input) ; 
  
  
  Button button = new Button("CONVERT"); 
  button.setPrefSize(150, 30); 

  button.setOnAction(new EventHandler() {
   @Override
   public void handle(ActionEvent arg0) {
    String c = input.getText(); 
    try{
     int a = Integer.parseInt(c); 
     String hasil = printBilanganToKalimat(a); 
     
     area.setText(hasil);
     
    }catch(Exception e){}
   }
  });
  
  box.getChildren().add(button); 

  HBox hbox = new HBox(); 
  hbox.setTranslateX(5);
  hbox.setTranslateY(5); 
  hbox.setSpacing(10);
  hbox.getChildren().add(box); 
  
  box.getChildren().add(area);  
  
  pane.getChildren().add(hbox); 
  
 }
}

Thursday, February 4, 2016

Penggunaan Induksi Matematika dalam fisika: Rewrite Soal no 1 chapter 7 buku Quantum Physics Gaziorowich

Nah tulisan ini sebenarnya hanya mengedit tulisan saya sebelumnya (http://fjr66.blogspot.co.id/2012/12/soal-no-1-chapter-7-buku-quantum.html). Sebenarnya saya agak bingung karena buku fisika kuantum Gaziorowich itu ada beberapa edisi, namun tidak semuanya ada soal yang dimaksud, contohnya di edisi 3 nya itu ga ada soal yang dimaksud. Masalahnya adalah saya lupa di edisi ke berapa buku tersebut soalnya muncul. Yang jelas buku fisika kuantum yang dimaksud saya beli di fotokopian di jalan Taman Sari Bandung, ga jauh dari kampus ITB (silakan pembaca liat di situ, kali aja ada).

Professor-professor fisika di Amerika sana benar-benar jago. Kerjaan mereka itu ga ada lain, hanya mencakar-mencakar-mencakar for entire their boring life, ga ada urusan cewek, urusan politik, atau urusan apa. Yang jelas cuma mencakar. Salah satu pekerjaan mereka adalah dengan membuat soal-soal guna menanamkan pemahaman konsep fisika ke para mahasiswa didikannya. Di samping itu untuk membuat fasih dalam hal problem solving dengan menggunakan bahasa matematika.

Salah satu teknik problem solving yang sangat terkenal dalam matematika itu namanya Induksi Matematika dan sudah digunakan sejak zaman Yunani Kuno (jadi sudah cukup klasik ya?). Nah ini yang ditekankan dalam soal yang diberikan pada buku Fisika Kuantum Gaziorowich tersebut.

Tanpa berbasi-basi kita masuk aja ke soalnya: Gunakan hubungan komutatif pada persamaan (7-15) dan defenisi bahwa state $u_n$ diberikan oleh persamaan (7-26) untuk membuktikan bahwa: $$ A a_n = \sqrt{n} u_{n-1} $$ Jawab:

Pertama-tama kita tunjukkan bahwa ini benar untuk $n = 1$

Dengan menggunakan persamaan (7-26), $ u_n = \frac{1}{\sqrt{n !}} \left ( {A^\text{*}} \right ) u_0 $ maka diperoleh

$$ A u_{1} = A \left ( \frac{1}{\sqrt{1}} \left ( A^{*} \right )^1 u_0 \right ) = A A^{*} u_0 = u_0 = \sqrt{1} u_{1-1} \nonumber $$ Dengan demikian pernyataan tersebut benar untuk $n = 1$. Dengan adanya base case tersebut maka dapat kita katakan pernyataannya benar untuk suatu $p$ tertentu dengan $p$ bilangan bulat. Selanjutnya

$$\begin{eqnarray} A u_{p + 1} & = & A \left ( \frac{( A^{*} )^{p +1} u_0 }{ \sqrt{( p + 1) ! }} \right ) \nonumber \\ & = & \frac{A A^{*} (A^{*})^p u_0 }{\sqrt{p + 1} \sqrt{p ! } } \nonumber \\ \end{eqnarray}$$ Sementara identitas (7-5) mengatakan $[A, A^{*}] = 1$ sehingga

$$\begin{eqnarray} A u_{p + 1} = (1 + A^{*} A) \frac{ (A^{*})^p u_0 }{\sqrt{p + 1} \sqrt{p ! } } \nonumber \end{eqnarray} $$ Kemudian dari persamaan (7.27) diketahui $A = \frac{d}{d A^{*}}$ yang mengakibatkan

$$\begin{eqnarray} A u_{p + 1} & = & (1 + \frac{d}{d A^{*}} ) \frac{ (A^{*})^p u_0 }{\sqrt{p + 1} \sqrt{p ! } } \nonumber \\ & = & (1 + p A^{*} ) \frac{ (A^{*})^{p-1} u_0 }{\sqrt{p + 1} \sqrt{p ! } } \nonumber \\ & = & (1 + p ) \frac{ (A^{*})^{p} u_0 }{\sqrt{p + 1} \sqrt{p ! } } \nonumber \\ & = & \sqrt{p + 1} \left ( \frac{ (A^{*})^{p} u_0 }{ \sqrt{p ! } } \right ) \nonumber \\ & = & \sqrt{p + 1} u_p && \text{Berdasarkan base case} \nonumber \\ & = & \sqrt{p + 1} u_{(p + 1) - 1} \nonumber \end{eqnarray} $$ Sehingga pernyataan $A a_n = \sqrt{n} u_{n-1}$ benar untuk semua $n$ $(\text{QED})$.

Thursday, January 14, 2016

Escape Velocity

Tulisan ini berbicara tentang chance. Bahwa hidup ini semata-mata akibat kebetulan.  Tiba-tiba saja molekul kimia bernama asam amino berevolusi hingga membentuk molekul tahap lanjut yakni RNA dan kemudian berevolusi lagi menjadi DNA. Dan DNA ini bahan baku kehidupan karena dia mampu melakukan swa-replikasi (self-replicating). Dan kemampuan untuk melakukan replikasi ini lah yang menjadi hal fundamental bagi terbentuknya kehidupan. Menurut ilmuan biologi, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk berkembang-biak meneruskan material genetiknya ke generasi selanjutnya.

Banyak orang yang bilang bahwa alam semesta ini sudah diatur demi kemaslahatan manusia. Bahwa ternyata jarak antara bumi dan matahari itu sudah begitu pasnya sehingga lebih besar dikit atau lebih kurang dikit akan menyebabkan kehidupan itu tidak ada. Di mars terlalu dingin sementara di merkuri terlalu panas dan tidak mungkin muncul kehidupan di situ.

Tapi seperti kata Carl Sagan, “Air zam-zam itu ada bukan lantaran Allah berkehendak untuk mensuplai kebutuhan jamaah haji yang datang, akan tetapi adanya sumber mata air zam-zam di tengah padang pasir yang terik lah yang mengakibatkan Ka’bah didirikan di situ.” Jadi jarak matahari dan bumi ini bukan disetel supaya manusia bisa hidup, akan tetapi manusia bisa hidup lantaran jarak matahari dan bumi sudah seperti itu.

Sebenarnya ini pelajaran kelas II SMA. Bahwa ketika kita mengikat sebuah objek (katakanlah ember) dengan tali kemudian memutar-mutarnya dengan tangan kita, maka benda tersebut itu akan tetap konstan jaraknya dari kita. Bahwa kecepatan tangensial benda tersebut membuat benda tersebut tetap melayang-layang bergerak melingkar di samping tangan kita. 

123

20131202Atraksi-Tong-Setan-021213-RM-1

Sebenarnya apa yang terjadi pada bulan itu hampir mirip dengan apa yang terjadi dengan pembalap pada tong edan (atau ember tadi). Bedanya adalah gaya normal yang diberikan lintasan tong edan yang berperan bagi kecepatan sudut nya, pada bulan merupakan gaya gravitasi bumi. Sementara di samping gaya normal lintasan tersebut terdapat pula gaya gravitasi bumi yang dialami oleh pembalap sehingga total ada 2 komponen gaya di situ: gaya normal lintasan, dan gaya gravitasi. Pada kasus bulan (atau wahana satelit) yang ditempatkan di orbit komponen gaya F (dalam rumus F = ma) itu hanya satu yakni gaya gravitasi. Jadi bulan itu harusnya bergerak lurus beraturan namun adanya komponen gravitasi F dari bumi, mengakibatkan bulan jadi bergerak melingkar mengelilingi bumi. Perbedaan lain adalah pada tong edan, gaya normal hanya berlaku pada lintasan motor tersebut, sementara pada kasus bulan, gaya gravitasi menyebar di segala ruang (akibat medan gravitasi).

Dahulu kala, menurut profesor astronomi yang saya tanyai, terdapat banyak objek maha besar yang bergerak berpapasan dengan bumi. Namun  objek-objek tersebut memiliki kecepatan yang tidak sama. Ada kecepatannya lebih besar dari kecepatan v tertentu (sebut saja kecepatan ini escape velocity) yang akibatnya benda tersebut hanya numpang lewat dan “menghilang dari pandangan”. Ada benda yang kecepatannya kurang dari kecepatan v  yang kemudian benda ini jatuh menyatu dengan bumi. Dan yang terakhir ada benda yang kecepatannya persis sama dengan v escape velocity ini. Benda terakhir ini lah yang terus-terusan berputar mengelilingi bumi bak tong edan. Komponen kecepatan tangensialnya sama dengan komponen kecepatan radialnya.

Jika tanpa diminta-minta lintasan tong edan itu rusak atau bocor (dan bocornya seukuran motor dan pembalap), maka otomatis pembalap tong edan itu akan terlempar keluar. Dan jika bumi tiba-tiba kehilangan  tarikan gravitasinya dan udara tiba-tiba vakum (sehingga tidak ada gaya gesek udara), maka pembalap tadi akan terlempar selama-lamanya sejauh mungkin.

Wednesday, January 13, 2016

Einstein, Gravitasi, dan Planet Merkuri

Banyak orang yang kurang memahami bahwa fisika itu pada hakikatnya bukan sekedar “mata pelajaran yang diajarkan”, akan tetapi fisika itu adalah kajian tentang realita. Mungkin beberapa dari kita hanya pernah mempelajari ilmu fisika sebatas sampai SMA atau SMP di mana aspek penting dari fisika yang diajarkan pada waktu sebatas bagaimana menerapkan konsep-konsep dasar fisika (misalnya Hukum Newton I, II, dan III) ke dalam kehidupan sehari-hari. Atau kajian tentang bagaimana kulkas itu menggunakan prinsip Termodinamika. Namun belakangan ini, khususnya selepas saya melaksanakan dan kemudian menyelesaikan studi S2 di ITB (jurusan fisika) saya kemudian menemukan banyak ilham-ilham yang masuk yang sedikit banyak kemudian membentuk penafsiran saya tentang realita berdasarkan kacamata fisika.

Kuliah saya 3 tahun di ITB sebenarnya ga ada yang istimewa. Saya hanya mahasiswa awam, atau layman people kata orang barat. Namun yang membedakan situasi antara kuliah saya ketika S2 dan situasi ketika kuliah saya S1 di Untad itu adalah pada kuantitas waktu yang saya habiskan merenung. Selama kuliah saya S2 di ITB, saya banyak melakukan “penemuan” dan perenungan. Tuntutan tugas perkuliahan membuat tangan saya disibukkan untuk browsing sana-sini untuk mencari tahu materi-materi yang dibutuhkan: apa itu virtual work, apa itu laplacian operator, dll. Dan dari materi-materi yang saya dapatkan di internet, saya kemudian melakukan studi lebih jauh dengan merenung.

Teman-teman saya kuliah S2 di ITB itu sebenarnya banyak yang lebih cerdas dari saya soal fisika. Mereka punya IQ lebih tinggi dari saya. Contoh mereka bisa menghitung perkalian 3 angka di dalam kepala kurang dari tiga detik, dan saya ga bisa seperti itu. Atau mereka mampu mencerna makna kalimat yang disusun oleh lebih dari 20 kata. Namun yang membuat saya lebih unggul dari mereka adalah pada kesenangan merenung ini. Khususnya merenungi realita. Sehingga saya lebih bisa menarik benang merah dari masalah dan situasi yang saya alami.

Waktu saya kuliah S1, saya sangat rajin solat, tetapi kemudian pas waktu kuliah S2 di ITB kemarin saya menemukan beberapa situs penting di internet yang sedikit banyak memancing pertanyaan-pertanyaan jahil di kepala saya tentang agama saya, agama Islam. Saya kemudian bertanya apakah Islam ini benar-benar kiriman dari Tuhan sang pencipta alam semesta, atau jangan-jangan Islam ini hanya bualan Nabi Muhammad? Apakah genderuwo, kuntilanak, tuyul, pocong, dll adalah substansi spiritual/immaterial, ataukah mereka itu adalah makhluk lain di alam semesta ini (entah alien, entah apa), atau mungkin juga mereka hanyalah riak-riak kecil dalam kesadaran manusia: mereka sebenarnya tidak ada, hanya otak manusia saja yang sedikit berfkultuasi. Saya kemudian teringat sebuah fenomena yang sering saya alam yakni sleep paralysis atau yang sering disebut sebagai ketindisan. Waktu kecil saya sering diajarkan bahwa sleep paralysis ini diakibatkan oleh makhluk halus sedang mengganggu kita, namun belakangan saya akhirnya tahu kalo ini diakibatkan adanya gejala tertentu di otak kita.

Saya kemudian menemukan bahwa sejarah Islam tidak sesuci yang saya bayangkan. Bahwa Husain bin Ali mati di karbala, bahwa Umar bin Khattab membuat fatimah keguguran, dll yang kemudian membuat saya sampai pada kesimpulan kalo Nabi-Nabi itu juga manusia biasa. Mereka tidak dibekali muatan spiritual tahap lanjut seperti yang dikatakan oleh keturunan mereka: habib-habib itu. Maaf saya bukan pembenci habib. Saya hanya objektif menilai realita.

By The Way, waktu kecil saya juga pernah mengikuti perguruan-perguruan spiritual yang banyak dibuka bersamaan dengan momentum kerusuhan SARA di Sulawesi Tengah pada waktu itu, antara lain Pagar Nusa dan Al-Haq (maaf saya ga tau situs resmi nya, silakan pembaca cari lebih lanjut) yang membuat saya itu terpapar dengan fenomena-fenomena spiritual pada waktu itu: ada teman seperguruan saya yang kemudian jadi gila (tidak waras) karena mengikutinya. Ini kemudian sampai saat ini menyisakan goresan kecil di kesadaran saya yang termanifestasi oleh pertanyaan semisal, jangan-jangan jin itu ada? Atau kalo mau lebih jauh lagi, jangan-jangan Allah, Jibril, Iblis, Ifrit, dll itu benar-benar ada?

Pada waktu mengikuti Al-Haq itu saya juga di situ ikutan berzikir dan setengah kerasukan. Kemudian saya melihat sendiri bagaimana teman-teman saya yang mengikuti Pagar Nusa itu terlempar karena mengalami spooky action at a distance dari teman yang lain.

Karena kentalnya paparan ilmu fisika (dan ilmu eksak lainnya) yang saya terima akhir-akhir membuat saya berpura-pura untuk tidak ambil peduli dengan hal-hal tersebut. Dibekali dengan pemahaman tentang fenomena sleep paralysis dan fenomena neurosains lainnya saya kemudian senada dengan Sigmund Freud bahwa hal-hal tersebut tidak lebih dari sekedar riak-riak kecil di kesadaran manusia. Belakangan ini para pakar neurosains kemudian memdeklarasikan bahwa kesadaran itu tidak ada: apa yang terjadi di otak manusia tidak lebih dari reaksi elektrokimia yang sifatnya eksak (terprediksi). Dengan demikian adalah hal yang lucu (kalo tidak bisa dikatakan ngawur) kalo ada ilmuan yang mencoba membuat pembangkit listrik tenaga jin, atau mobil bertenaga jin, dan semisalnya.

Keistimewaan kita untuk tetap keep the faith di fisika adalah fisika itu sifatnya egaliter tidak feodal. Kalo kita belajar memahami realita secara sufistik, mau tidak mau kita mesti dekat dengan dukun, atau habib karena konon mereka itu membawa darah suci utusan Tuhan. Aura mereka adalah aura yang terberkati. Kalo kita belajar sendiri katanya bisa jadi gila seperti teman seperguruan saya waktu kecil itu. Sementara di fisika, kita itu bebas aja belajar asal mampu. Kita bisa berguru ke anak SD, bisa berguru ke anak SMP, bisa berguru ke anak TK sekalipun. Fisika itu sifatnya ilmiah. Jadi fenomena fisika manapun bisa diulangi oleh siapapun, tidak peduli dia itu keturunan habib atau bukan. Sementar fenomena spiritual hanya orang-orang tertentu saja yang mengalaminya. Itupun kalo mereka ga ngarang.

Kita dahulukan yang pasti-pasti ketimbang yang nisbi-nisbi. Fisika itu punya manfaat praktis yang bisa diterima oleh siapa saja. Sementara mukjizat itu sifatnya tergantung penafsiran dan situasional.

Kembali ke judul tulisan ini: Einstein, Gravitasi, dan Planet Mars.

Apa itu gravitasi? Tak ada satu pun orang yang benar-benar paham. Bahkan profesor fisika di ITB bahkan di seluruh dunia akan mengalami kebingungan kalo disuruh memikirkan soal gravitasi ini.

Siapa yang mengemudikan planet-planet itu?

Kalo pembaca kebingungan tentang apa itu gravitasi, saya berikan contoh yang bisa dijangkau, ga usah dulu planet-planet dan lubang hitam yang jauh dari jangkauan. Spooky action at a distance (meminjam terminologi Einstein) itu bisa Anda jumpai pada fenomena besi berani (magnet batangan). Sejak jaman dulu orang-orang itu heran dengan fenomena magnetisme. Mengapa besi bisa tertarik ke besi lainnya tanpa ada persentuhan. Kan biasanya kalo tertarik ke sesuatu tempat atau tertarik ke posisi tertentu, maka yang menarik kita itu mesti bersentuhan (punya kontak langsung) dengan kita. Kalo kita main tarik tambang, yang membuat kita tertarik ke arah lawan itu karena kita pegang tali dan lawan menarik tali yang kita pegang.

Berbeda halnya dengan spooky action at a distance, tanpa bersentuhan besi akan tertarik ke arah magnet. Apa yang menariknya, tidak kelihatan. Tidak ada substansi yang menarik besi ke arah magnet. Penyebab besi tertarik ke arah magnet tidak lain karena sifat intrinsik dari besi dan magnet itu sendiri. Kata fisikawan ada medan diseputar magnet yang membuat besi tertarik. Medan ini berbeda dengan materi. Kalo dianalogikan dengan struktur bahasa, medan itu predikat dan materi itu subjek. Jadi magnet menimbulkan medan magnet dan akibat pengaruh medan magnet ini besi tertarik. Soal pertanyaan apa sih sebenarny medan itu, maka itu yang coba dijawab oleh para fisikawan partikel energi tinggi. Bahwa medan magnet (yang sekaligus medan listrik) dibawa oleh partikel foton. Medan gravitasi dibawa oleh partikel graviton, dst. Tapi inipun bukan jawaban finish. Lantas apa itu medan? I dont know…

Nah, dari fenomena besi berani ini lah Newton (yang mungkin sudah mengetahui fakta magnetisme tersebut) kemudian menanyakan kenapa apel jatuh ke bawah, bukan jatuh ke atas. Ternyata subjek berupa bumi memberikan predikat berupa medan gravitasi ke arah apel: setiap benda bermassa akan menghasilkan medan gravitasi. Apel kemudian tertarik ke arah bumi. Anda kemudian jangan heran hukum Newton dan Hukum Coulomb itu bentuknya sama: ada r kuadrat pada penyebutnya. Penjelasannya adalah flux gravitasi (dan juga elektromagnet) itu konstan terhadap sumber, dengan demikian seiring bertambahnya jarak dari sumber S maka kerapatan flux itu pada permukaan tertentu yang berjarak r dari sumber berkurang yang pengurangannya sebanding dengan bertambahnya luas area dari permukaan tersebut. Sementara luas permukaan tersebut bertambah sebanding dengan kuadrat jarak  r dari sumber (ingat rumus menghitung luas permukaan bola).  Lihat gambar dan link tersebut.

 

Inverse_square_law.svg

Dan Newton kemudian menggunakan hukum I dan II nya tersebut (yang bisa Anda jumpai pada pelajaran fisika SMA) digabung dengan hukum Gravitasi Universal (action at a distance yang sama juga degan hukum Coulomb tadi) untuk kemudian memprediksi lintasan planet-planet secara eksak. Dan prediksinya benar, bisa diukur oleh siapa saja: bukan cuma para habib dan dukun. Karena prediksi ala Newton ini benar, maka digunakanlah pada kasus-kasus yang lain semisal mendaratkan wahan luar angkasa di bulan, atau bagaimana menempatkan satelit tertentu di orbit biar ga jatuh-jatuh.

Anda percaya ga kalo satelit telekomunikasi yang digunakan oleh Telkomsel dan operator telekomunikasi lainnya (satelit palapa sekian, saya udah lupa) itu saat ini sedang berada di orbit (di atas kepala kita) hanya dengan bermodalkan hukum gravitasi universal ala Newton ini. Berputar-putar mengelilingi bumi 24 jam non-stop tanpa perlu di isi bensin kayak mobil Nascar.

Namun ternyata rumusan inverse square law ala Newton ini punya cacat. Cacatnya adalah dia tidak 100 persen bisa memprediksi orbit planet merkuri dalam mengelilingi matahari. Planet di tata surya kita ini mengelilingi matahari dalam lintasan yang berbentuk elips. Pada lintasan ini ada titik aphelion (titik terjauh) dan ada titik perihellion (titik terdekat). Dan ternyata setelah diamati, titik terjauh dan titik terdekat ini tidak tetap letaknya sepanjang masa akan tetapi berubah yang mengindikasikan orbit dari planet tersebut juga berubah. Hukum II Newton (yang boleh dibilang juga hukum kekekalan momentum angular) yang digabungkan dengan hukum gravitasi universal tadi ketika digunakan untuk memprediksi laju perubahan (atau lebih tepatnya pergesaran) orbit ini tidak benar 100 persen akan tetapi secara signifikan jauh dari itu (97 persen atau kurang kalo tidak salah). Sementara penyimpangan dari 100 persen yang bisa diterima itu harusnya lebih besar (lebih 98.99 persen) dengan memperhitungkan faktor keterbatasan ketelitian dari alat ukur.

Ini artinya data dan perhitungan tidak bersesuaian. Karena itu perhitungan harus dikoreksi karena data sudah pasti. Di sinilah kehebatan teori relativitas umum Einstein: mampu memprediksi pergeseran orbit planet merkuri ini dengan akurasi yang dibutuhkan (99,99 persen) atau boleh dibilang 100 persen (jika keterbatasan ketelitian alat ukur diabaikan). 

ASperihe

Fig6_19

Yang jadi trend di kalangan fisikawan akhir-akhir ini adalah bagaimana menggabungkan gaya-gaya fundamental yang bekerja di alam ke dalam satu rumusan yang utuh. Di alam kan ada empat gaya fundamental (eksak, non spiritual). Pertama gaya gravitasi, kedua gaya elektromagnet, ketiga gaya nuklir kuat, dan ke empat gaya nuklir lemah.

Gaya yang kita alami pada kasus tarik tambang itu dimasukkan ke dalam gaya elektromagnet. Begini ceritanya: ketika tangan kita bersentuhan dengan tali, ada gaya tolak menolak antara proton penyusun tangan kita dengan proton penyusun tali tambang tadi yang mengakibatkan tangan kita tidak menyatu dengan tali (berbeda halnya dengan susu yang menyatu dengan air). Gaya gesek hakikatnya adalah perwujudan dari gaya elektromagnet antara proton-proton penyusun material yang saling bergesekan (silakan tanya profesor fisika di ITB). Ketika tangan kita mencengkram tali tambang gaya gesek tadi menahan agar tali tersebut tidak terlepas dari tangan kita. Karena tali tadi tidak terlepas dari tangan kita maka kita ikutan tertarik ke arah lawan dalam proses tarik tambang tersebut.  Jadi gaya gesek bukan gaya fundamental, tapi gaya elektromagnetik lah yang menjadi hakikat dari gaya gesek.

Gaya nuklir lemah tidak teramati dalam kehidupan sehari-hari namun berperan dalam peluruhan radioaktif. Gaya nuklir kuat itulah gaya yang melekatkan proton-proton (yang saling tolak menolak karena bermuatan positif) agar bisa bersatu di dalam inti. Gaya nuklir kuat, gaya nuklir lemah, dan gaya elektromagnet sudah berhasil disatukan oleh para fisikawan. Abdussalam si ilmuan fisika asal Pakistan itu dapat Nobel untuk kerja kerasnya dalam topik ini. Gaya listrik dan gaya magnet kan sudah dari dulu disatukan oleh James Clerk Maxwell yang melahirkan 4 hukum Maxwell yang diajarkan di semester 2 kuliah pascasarjana ITB.

Yang jadi masalah besar saat ini adalah bagaimana menyatukan rumusan gravitasi ala Einsein ini ke dalam ketiga gaya tadi. Masalahnya adalah rumusan Einstein ini sudah paten akurasinya (seperti dalam kasus memprediksi pergeseran orbit planet mars tadi). Dan yang bikin sulit adalah orientasi perumusan Einstein sangat berkaitan erat dengan geometri dan curvature: kelengkungan ruang waktu. Berbeda dengan penyatuan antara gaya listrik dan gaya magnet menjadi elektromagnet oleh Maxwell, yang semata-mata berorientasi partikel. Demikian pula dengan penyatuan gaya elektromagnet dengan gaya nuklir lemah itu juga berorientasi partikel. Jadi tinggal kita mulai perumusannya dari Lagrangian dan implikasinya muncul partikel di situ yang diasumsikan membawa gaya tersebut.

Kebingungan para fisikawan dalam ikhtiar penyatuan ini makin menjadi hingga melahirkan teori-teori heboh semisal superstring yang implikasinya adalah terdapat alam semesta lain yang paralel dengan alam semesta kita ini.

Gravitasi itu apa, sampai saat ini saya masih belum sepenuhnya tahu. Semoga professor saya di ITB yang punya IQ tinggi itu mampu menjelaskan dengan bahasa yang lebih gamblang dan mudah dimengerti. Dan tentunya penjelasannnya eksak, universal, dan tentunya tidak feodal (kadang benar, kadang salah, kadang muncul, kadang enggak).

 

BERSAMBUNG…

Monday, December 28, 2015

Menelanjangi Novel Rindu Karya Tere Liye Halaman 310-544

33. Halaman 337. Kata minggir berasal dari bahasa jawa. bukan bahasa melayu.

34. Halaman 346 paragraf ke-lima Ujaran “Eh” (yang juga dijumpai pada halaman 328 paragraf terakhir) tidak pernah digunakan dalam dialog berbahasa Indonesia. Seharusnya kalimatnya adalah “… Kosong, tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Ya?…. Mungkin Tere Liye keseringan nonton film Naruto atau film-film barat yang biasanya dipasangin substitle di mana ujaran ”Eh” itu kalo di-Bahasa-Indonesiakan setara dengan ujaran “Ah”.

35. Halaman 367-376. Sebenarnya itu plot yang terlalu dipaksakan kalo Daeng Andipati harus buka-bukaan tentang rahasia keluarganya hanya lantaran sebuah insiden kecil. Bukankah sejak kecil dia sudah biasa bersandiwara? Kejadian ketika dia datang dengan manis ke pemakaman ayahnya, jadi ternodai lantaran gara-gara sebuah upaya pembunuhan dia kemudian membuka sandiwaranya tersebut. Dan merupakan sebuah kejanggalan jika seorang tokoh yang dikenal sangat licik dan bejat di masyarakat (punya banyak tukang pukul dan jadi rentenir), sekaligus bisa menjadi tokoh yang dikagumi (banyak yang datang ke upacara pemakamannya).
Persis seperti kejadian Mbah Kakung yang dipaksakan menjadi Bolot, sekali lagi Tere Liye gagal dalam membentuk karakter dari tokoh yang dimunculkannya dalam novel ini.  

36. Frase “Rombongan Kesultanan Ternate” yang sering muncul di banyak halaman bisa ga dibahasakan dengan bahasa yang lebih deskriptif dan penuh warna a’la sebuah novel?

37. Halaman 465 paragraf terakhir, Kapal Blitar Holland dikatakan Transit sebentar di Aden. Yang jadi pertanyaan besar adalah yang transit ini kapalnya atau penumpangnya? Kalo kapalnya yang transit, transit ke mana, ke kapal lain (kapal di dalam kapal) atau ke apa? Kalo penumpangnya yang transit, bukankah dari pertama dikakatakan cuma ada satu kapal?

38. Halaman 485, bagaimana bisa seorang pelaut ulung membiarkan sebuah ombak memukul lambung kapal? Kecuali Anda baru pertama belajar menjalankan kapal, Anda pasti akan tahu agar kapal tidak terbalik maka harus dijalankan sejajar datangnya ombak. Kalopun pada akhirnya kapal terbalik, maka kemungkinannya ada dua, ombaknya terlalu besar/tinggi sehingga ketika selesai melewati ombak kapal oleng dan terjungkir (seperti yang terdapat di film Wolf of Wallstreet) atau kapalnya memang pada saat itu kemasukan banyak air  karena terlalu berlama-lama terjebak di dalam badai sehingga pada akhirnya oleng dan tenggelam. 

Satu-satuya kasus ketika kapal dipukul oleh ombak dan terbalik hanya pada kasus kapal kecil dan sang pengemudi tidak tahu bagaimana membaca situasi datangnya angin/ombak.

39. Halaman 486, Titanic nih ye….

40. Halaman 520. Sebenarnya di tahun-tahun 1938 itu belum ada yang namanya perompak di perairan Somalia. Ketika terjadi perang Sipil di Somalia di tahun 1991 negara Somalia sama sekali bisa dikatakan “tanah tidak bertuan”. Dan baru sekitar tahun 2005 ke atas, Somalia mulai dihuni oleh perompak dan bajak laut.

41. Halaman 522, dialog penuh “canda” antara bajak laut dan korban itu dalam kenyataannya sama sekali tidak ada. Kalo kapal Anda dibajak, maka Anda akan diperlakukan bak tahanan/sandera: disuruh tiarap, tangan diborgol, dibentak, disuruh ini itu dan lain-lain. Mungkin alam bawah sadar Tere Liye sedikit terpengaruh oleh tayangan berulang-ulang dari Pirates of Carribean yang sering muncul di RCTI.

42. Halaman 534, ini Serangan Umum Satu Maret ya…?

Tuesday, December 8, 2015

Menelanjangi Novel Rindu Karya Tere Liye Halaman 209-310

Berikut ini merupakan kelanjutan point-point yang agak janggal dalam novel rindu karya Tere Liye:

22. Halaman 215. “… Orang-orang berlalu lalang dengan pakian khas zaman itu. Mestinya Tere Liye mendeskripsikan corak berpakaian khas “zaman itu” itu yang seperti apa? Kalo memang dia ga tau gimana cara berpakaian tahun 1938, ngapain dia buat novel dengan tema tahun 1938.

23. Halaman 219 paragraf kedua dari terakhir. Ga juga ketemu teman lama main bongkar kartu sampai segitunya.

24. Halaman 223, “Daeng Andipati tidak berhasil menemukan guru baru. Bukan karena waktunya terlalu mepet, melainkan ada kejadian kecil tapi serius di dek kapal,…”. Ini nyari guru mengaji di atas kapal tahun 38 kok hampir mirip dengan datangin penceramah kondang di jaman sekarang, sampai pake alasan “waktunya mepet” segala, hehe.

25. Halaman 224. Tahun 1938 itu belum ada sistem pasport ama visa, Anda boleh kemana aja tanpa perlu membawa dokumen imigrasi.

26. Halaman 224 paragraf kedua dari terakhir, Anna mengeluarkan suara puh pelan. Kok mirip ya.. dengan status facebook ABG jaman sekarang, fuuuuhhh… padahal ini tahun 38.

27. Halaman 256. Kalo Anda liat di peta Indonesia, akan nampak bahwa pegunungan Bukit Barisan itu tidak  menyentuh Bandar Lampung (atau Teluk Lampung). Jadi akan tidak mungkin terlihat dari pesisir pantai di seputaran Bandar Lampung adanya pemandangan Bukit Barisan. Lain halnya kalo yang dimaksud oleh  Tere Liye ini Teluk Semangka itu mungkin masih kelihatan Bukit Barisan nya.

28. Halaman 295, Tere Liye menggambarkan proses melahirkan Mbah Putri yang berlangsung secara independent. Ga tau di Sumatera Barat atau di Jawa, yang jelas di mana-mana itu baik jaman dulu maupun sekarang orang melahirkan selalu ada yang bantuin, entah dia dukun, bidan, atau dokter. Saya jadi teringat film tahun 80-an yang dibintangi oleh Barry Prima di mana ada orang melahirkan di samping kali dan anaknya langsung dikasi makan ama buaya, mungkin Tere Liye mendapat inspirasi dari situ. 

29. Kalimat atas nama kemanusiaan halaman 302. Ini tahun 38 bro…

30. Halaman 303. Paragraf ketiga dari terakhir, bicara aja harus pake tenaga?

31. Halaman 304. Paragraf ketiga: “ Bunda Upe diam sebentar. Menyeka hidung dengan ujung baju.” Sepertinya Tere Liye penggemar Iwan Fals, especially lagu Azan Subuh Masih di Telinga. Ya… ga harus pake ujung baju mungkin kalo ngelap ingus, pake lenso kek, sapu tangan kek, handuk kek. Kayak anak kecil aja ingus dilap pake ujung baju. Lagian ngapain cuma cerita seperti itu dibawa nangis? Anda bayangin aja gimana ibu-ibu pas ngegosip, cerita-cerita pengalaman pahit, dan sejenisnya. Ga juga sampe nyeka ingus pake ujung baju.

Monday, November 30, 2015

Menelanjangi Novel Rindu Karya Tere Liye

Banyak orang yang mengatakan bahwa Tere Liye itu novelis berbakat yang karyanya laris manis di pasaran dan menuai pujian dari khalayak. Tapi saya akan menunjukkan kepada Anda bahwa itu semua tidak sepenuhnya benar. Menurut pendapat objektif saya Tere Liye itu novelis kacangan kalo tidak bisa dikatakan novelis asal-asalan. Salah satu novel miliknya yang saya baca baru-baru ini adalah Novel Rindu yang covernya bisa dilihat pada gambar. Beberapa keganjilan novel ini antara lain:

IMG_20151130_000412

1. Halaman 6 paragraf terakhir: “… pemimpin rombongan yang melihat kebingungan mereka, dengan bahasa setempat berseru menyuruh kuli agar menaikkan lagi barang bawaan. Kuli angkut dengan tubuh hitam berminyak karena terlalu sering dipanggang cahaya matahari menggaruk kasar kepalanya yang tidak gatal. Kepalang tanggung. Namanya juga kuli. mereka akhirnya tetap memilih menggotong barang-barang bawaan itu lima puluh meter menuju anak tangga kapal. Tersengal di belakang kereta kuda.” Kenapa kuli tersebut tidak menuruti saja perintah si pemilik barang tersebut yakni dengan menaikkannya kembali barangnya ke dalam kereta, malah ngotot memikulnya sejauh 50 meter. Apa susahnya menaikkan kembali barang-barangnnya ke dalam kereta kuda, dibandingkan memikulnya sejauh 50 meter? Lagian yang nyuruh menaikan kembali kan si pemilik barang, kok tiba-tiba seorang kuli berani membantah perintah tersebut. Ini kuli apa maling sih sebenarnya? Atau jangan-jangan polantas yang ngotot membawa (a.k.a menyita) motor dari pengemudinya? Lupa ga dia bahwa statusnya itu hanya sebatas kuli? Yah….. ini kan cuma novel…. karya Tere Lie.

2. Anak bungsu berumur 9 tahun yang dimunculkan pada halaman 7.  Anak ini mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga tentang keadaan di sekitarnya. Si bungsu tersebut was-was dengan tasnya yang dibawa oleh si kuli pikul tersebut. Masalahnya adalah  apa mungkin seorang anak berusia 9 tahun bisa sebegitu curiga dengan keadaan di sekitarnya? State of mind yang penuh kewaspadaan yang dimiliki oleh seorang anak berusia 9 tahun itu sepertinya terlalu dini. Anak-anak yang usianya 9 tahun sepertinya tidak mungkin untuk  memikirkan hal-hal abstrak semisal: “apakah tasnya nanti dicuri”, atau pertanyaan-pertanyaan yang aware terhadap keadaan di sekitar sepeti “apakah nanti gajian”,  atau “apakah nanti kalo saya lewat di bawah hujan bisa tersambar petir”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis. Secara umum biasanya anak 9 tahun itu pikirannya hanya diisi oleh hal-hal yang remeh temeh, semisal superman, spiderman, batman, kura-kura ninja, dan hal-hal seperti itu kecuali mungkin anak tersebut child prodigy (anak berbakat). Tidak ada kalimat eksplisit di novel ini yang menyebutkan bahwa anak tersebut child prodigy.

3. Tas berwarna biru. Bro… ini tahun  1938, apa ada ya… produsen tas yang membuat tas dengan warna biru pada waktu itu. Setahu saya jaman dulu itu orang-orang kalo bepergian (lihat novel  bertanya kerbau pada pedati karya A.A. Navis) bukan membawa tas tapi membawa peti kayu atau koper. Bisa juga tas tapi umumnya tasnya terbuat  dari kulit binatang. Tapi kalo soal tas berwarna biru, ini tas apa…? Tas Hermes gitu? Kalo ga salah penggunaan tas dengan motif warna warni itu dimulai tahun 60-an ke atas, dan paling mencolok jaman 80-an. Kalo jaman 1938 orang punya tas warna bitu, ga tau ya… jangan-jangan terinspirasi oleh bendera Belanda.

4. Pada halaman 9 Ibu dari dua gadis tersebut memerintahkan Anna buat merapikan kerudungnya, katanya biar ga masuk angin. Pertanyaannya adalah apa hubungannya antara masuk angin dengan memakai kerudung? Biasanya kalo untuk mencegah jangan sampai masuk angin itu orang suka pakai pakaian yang tebal, misalnya jaket. Tapi kalo soal adanya kearifan lokal masyarakat jaman dahulu yang mencegah terjadinya masuk angin dengan merapikan kerudung, saya ga tau ya…? Lagian ini kerudung, bukan burkah atau gamiz yang sedikit banyak punya pengaruh dalam mencegah masuk angin.

5. Tokoh Daeng Andipati yang dimunculkan di halaman 10. Apa bisa ya.. orang Bugis tahun 1938 punya  nama Daeng Andipati? Benar ada kata ‘Andi’-nya. Masalahnya adalah ini nama agak berbau jawa. Apalagi dia punya pembantu bernama Bi Ijah, sepertinya terlalu janggal. Jaman dulu belum ada kegiatan eksport import babu antara jawa dan luar jawa sementara nama Ijah ini sangat janggal untuk disebut sebagai orang Bugis. Coba Anda perhatikan nama-nama orang Bugis yang terkenal: Mallarangeng, Kalla, Matalatta, Matalitti, Aru Pallaka dll, di mana selalu ada tasydid di situ.

6. Halaman 13 Meneer Houten mengacak rambut  si bungsu. Hellowww….. ini tahun 1938 bro… Sepertinya ga sopan kalo seorang laki-laki ‘menjambak’  rambut wanita yang bukan muhrim. Kendatipun dia masih berumur 9 tahun. Sepertinya seorang Tere Liye mencoba memaksakan adat istiadat Jawa-Jakarta abad 21 ke dalam setting cerita awal abad 20 di Makassar. Di Makassar itu (setidaknya jaman dahulu) orang ngelamar aja pake mahal, menyentuh berarti membeli hehehe...

7. Halaman 15, ini sebenarnya si kakek sedang menggunting atau sedang mencukur? Atau sedang mencukur plus mnggunting? Biar amannya kita anggap aja si kakek sedang mencukur. Dan apa iya jaman dulu tukang cukur rambut mesti buka  salon? Biasanya jaman dahulu tukang cukur itu mangkal aja di pinggir jalan kayak tukang tempel ban, atau kalo tidak dipanggil ke rumah-rumah pelanggan buat mencukur. Dan yang paling parah disebutkan di sepanjang jalan berjejer toko-toko dengan panjang 8 meter dan lebar 3 meter. Bro ini toko atau WC sih sebenarnya, kok lebarnya cuma tiga meter. Bagaimana bisa bangunan dengan lebar cuma 3 meter bisa menentukan style arsitekturnya? Coba pembaca sekalian pergi menyewa kosan di kawasan perkumuhan, apa ga sempit tuh kalo lebarnya cuma 3 meter? Naruh meja aja udah sulit, boro-boro nentuin model atap kayak gimana, biar disebut bangunan dengan arsitektur gaya Belanda.

8. Tokoh Ahmad Karaeng pada halaman 18. Sepertinya Tere Liye terkesan asal-asalan dalam  mencari nama buat orang Bugis jaman dulu. Kemudian pada paragraf kedua dari terakhir: “… Gurutta masih terbilang keturunan Raja Gowa yang pertama memeluk Islam, Sultan Alauddin. Dalam darahnya mengalir darah raja paling terkenal di Sulawesi, Sultan Hasanuddin---yang adalah cucu Sultan Alauddin. Gurutta juga masih kerabat dari Syek Yusuf, ulama besar yang dibuang Belanda ke Sri Lanka….” Menurut saya ini penuturan yang mubasir. Semua orang juga sudah tau kalo Sultan Hasanuddin itu cucu dari Sultan Alauddin. Dan yang lucu adalah Syekh Yusuf ini tidak berada pada generasi yang sama dengan Sultan Hasanuddin akan tetapi berada pada generasi sebelumnya. Syekh Yusuf ini ada pada masa pemberontakan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Dan jika Gurutta ini masih keturunan dari Sultan Hasanuddin-—katakanlah turunannya yang ke-5, adalah pembahasaan yang kurang tepat kalo dia dikatakan sebagai kerabat dari Syekh Yusuf. Si X dan si Y dikatakan kerabat adalah jika keduanya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan. Jika si X dan si Y terpisah jarak 300 tahun, saya rasa itu kurang tepat kalo mereka dikatakan sebagai kerabat. Sepertinya Tere Liye mencoba memaksakan fakta-fakta sejarah tersebut biar bisa hadir di novel nya ini. Dan mengingat Syekh Yusuf dan Sultan Hasanuddin merupakan pahlawan Nasional di NKRI yang masuk dalam buku-buku sejarah dalam kurikulum buatan Kemendiknas, maka itu hal yang tidak perlu untuk membahasnya secara detail dalam sebuah novel.

9. Halaman 35, 36, 37 dan 38 Gurutta ke Mekkah naik kapal selama 6 bulan hanya membawa satu biji tas? Dan isi-isinya ternyata hanya buku-buku. Terus Gurutta selama di kapal makan pake gratis gitu? Ga ganti pakaian? Dan emang jaman dahulu sudah ada tindakan terorisme (a.k.a. bom bali) sampe kitab kuning aja pake dicurigai. Dan ternyata kecurigaan ini dimotivasi oleh pemberontakan Syekh Yusuf yang terjadi 300 tahun sebelumnya. Ternyata Tere Liye begitu terobsesi dengan cerita-cerita sejarah, khususnya sejarah Bugis-Makassar. Padahal faktanya jaman pergerakan nasional itu dimulai di jawa, di mana pada saat yang sama di Makassar adem-adem aja. Masa-masa awal abad 20 itu di Makassar penduduk setempat cukup kooperatif dengan pemerintah kolonial. Benteng Somboupu yang cukup terkenal itu sudah diratakan dengan tanah.

10. Halaman 52, kapal buatan Belanda yang difasilitasi oleh Mesjid di atas kapal (musholla kali ya..?). Tolong Tere Liye membaca kembali sejarah pemberangkatan jemaah haji Indonesia di masa-masa kolonial. Setahu saya tidak ada jaman dahulu orang berangkat naik haji tidak menggunakan kapal khusus, apalagi sampai dibuatkan mesjid di dalamnya.

11. Ungkapan ‘sepelemparan batu’ pada halaman 59 sepertinya tidak perlu deh.

12. Halaman 94, teori mengenai perubahan hormon yang dialami oleh Ibu yang sedang hamil sepertinya belum dijumpai dalam kurikulum kedokteran pada tahun 1938 (atau kurang).

13. Jus jeruk pada halaman 121. Apa iya tahun 1938 sudah ada jus jeruk? Iya, mungkin jus sudah ada, tapi bukan barang yang mudah dijumpai apalagi tinggal diminta pada koki kapal? Pada waktu itu belum ada blender untuk membuat jus. Saya belum punya referensi yang jelas tentang sejarah pembuatan jus, yang jelas agak janggal kalo tahun 1938 itu di kapal-kapal itu minuman jeruk bisa diminta dengan mudah.

14. Halaman 129. Peristiwa pergolakan kemerdekaan itu belum terjadi di tahun 1938. Tahun-tahun di sekitar 1938 itu adalah tahun ketika kerajaan Belanda masih berkuasa penuh atas pulau jawa. Baru setelah Jepang menginjakkan kaki ke Indonesia dan kemudian membentuk badan kemiliteran semisal Heiho dan PETA maka pemuda-pemuda Indonesia mulai mengenali teknologi-teknologi perang pada masa itu. Dan perjuangan kemerdekaan itu dimulai ketika Jepang meyerah pada sekutu dan pemuda-pemuda Indonesia mulai melucuti senjata milik Jepang (dengan sukarela atau terpaksa) untuk dipakai melawan kembalinya Belanda. Tahun 1938 itu adalah tahun di mana bangsa Indonesia belum memiliki apa-apa  yang dibutuhkan untuk memberontak. Dan perjuangan dengan mengggunakan senjata-senjata tradisional sudah terbukti gagal pada masa-masa sebelumnya. Lagian di tahun 1938 VOC sudah dibubarkan jadi yang memegang kendali pemerintahan di Indonesia pada waktu itu langsung Kerajaan Belanda, sehingga tindakan yang diambil terhadap penduduk pribumi tidak se-represif ketika masa-masa VOC---perang Diponegoro, perang Sultan Hasanuddin, perang Pattimura, dll itu terjadi pada masa VOC. Buat Tere Liye, Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah…

15. Paragraf kedua dari terakhir halaman 157, “…Salah satu pelaut Jepang yang kutemui di Singapura bercerita, Kekaisaran Jepang sedang menyiapkan propaganda Jepang adalah saudara tua seluruh Asia. Membungkus penyerangan mereka dengan propaganda, berharap rakyat negara-negara Asia bersedia mendukung sukarela.” Bagaimana mungkin seorang pelaut Jepang dengan blak-blakannya membongkar ‘rahasia perusahaan’-nya sendiri kepada pihak luar. Sekali lagi seorang Tere Liye lupa membedakan antara sebuah novel dengan pelajaran sejarah khas kurikulum Kemendiknas.

16. Halaman 163 paragraf kedua. Ambu Uleng berlari-lari di atas kapal karena memendam rasa yang tidak enak. Kok si pelaut yang punya otot itam kekar bisa berkelakuan seperti banci yang sedang sakit hati?

17. Halaman 171, paragraf ke tiga, “Anna dan Elsa hanya mendengarkan seluruh detail itu dari penjelasan Bapak Mangoenkoesoemo…” Seolah-olah dikatakan bahwa penjelasan di paragraf kedua dalam halaman tersebut merupakan penuturan Bapak Mangoenkoesoemo mengenai Kota Semarang padahal tidak ada tanda ‘petik dua’ di situ sebagai penanda dialog. Apa yang saya tangkap adalah paragraf kedua di halaman tersebut merupakan kalimat narasi, bukan kalimat dialog. Tere Liye nampaknya lupa dengan tata cara penulisan novel yang sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemudian si Bapak Mangoenkoesoemo yang sudah satu setengah jam mengajar masih sempat-sempat nya naik  ke atas dek kapal untuk menjelaskan tentang latar belakang Kota Semarang ke Elsa dan Anna, apa ga capek gitu?

18. Halaman 198, paragraf ketiga: “…Inilah kota paling besar di seluruh Nusantara. Pusat perdagangan dan kantor Gubernur Jenderal Hindia. Besok atau lusa, kota ini akan menjadi pusat pemerintahan bangsa kita, bangsa yang merdeka. Mungkin orang tua sepertiku tidak sempat melihatnya tapi kalian akan menyaksikannya… ”  Seolah Gurutta begitu yakin atau lebih tepatnya punya ‘penerawangan’ ke depan bahwa nanti Indonesia (atau lebih tepatnya Nusantara) akan merdeka. Padahal di sekitar tahun 1945 Soekarno saja ragu bahwa Indonesia itu akan merdeka: dia masih sempat membungkukkan badan menyembah matahari untuk menjilat Jepang, serta menolak untuk memproklamirkan kemerdekaan sebelumnya akhirnya diculik dalam peristiwa Rengasdengklok. Sekali lagi Tere Liye lupa membedakan antara sebuah novel dengan pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berbasis kurikulum Kemendiknas.

19. Halaman 12, Benteng Fort Rotterdam sudah tidak digunakan lagi  sebagai basis operasional bagi pemerintah Belanda di tahun 1937 (lihat wikipedia).

20. Halaman 204, kayaknya si Tere Liye sangat terpukau dengan figur pelawak bolot sehingga memaksakan memasukkan karakter beliau ke dalam tokoh Mbah Kakung. Mbah Kakung pura-pura tuli dan kemudian mengakui ketuliannya tersebut di halaman berikutnya. Benar-benar Bolot…

21. Halaman 208, paragraf kedua dari terakhir, “Mbah Kakung Slamet sejenak menoleh. Menatap wajah Mbah Putri di sebelahnya. Itu tatapan penuh kasih sayang. Beberapa penumpang menelan ludah menyaksikannya. Ibu Anna menyeka ujung mata, ikut terharu.” Buat apa orang-orang menelan ludah hanya karena menyaksikan kakek dan nenek berusia 80 tahun saling memandang? Apanya yang bikin ngiler? Kemudian yang satu ngiler sementara yang satunya lagi menahan haru. Kesannya nuansa yang tercipta  tidak konsisten: tidak seragam rasa yang ditimbulkan antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam dalam merespon kejadian yang sama.

22. Halaman 215. “… Orang-orang berlalu lalang dengan pakian khas zaman itu. Mestinya Tere Liye mendeskripsikan corak berpakaian khas “zaman itu” itu yang seperti apa? Kalo memang dia ga tau gimana cara berpakaian tahun 1938, ngapain dia buat novel dengan tema tahun 1938.

23. Halaman 219 paragraf kedua dari terakhir. Ga juga ketemu teman lama main bongkar kartu sampai segitunya.

24. Halaman 223, “Daeng Andipati tidak berhasil menemukan guru baru. Bukan karena waktunya terlalu mepet, melainkan ada kejadian kecil tapi serius di dek kapal,…”. Ini nyari guru mengaji di atas kapal tahun 38 kok hampir mirip dengan datangin penceramah kondang di jaman sekarang, sampai pake alasan “waktunya mepet” segala, hehe.

25. Halaman 224. Tahun 1938 itu belum ada sistem pasport ama visa, Anda boleh kemana aja tanpa perlu membawa dokumen imigrasi.

26. Halaman 224 paragraf kedua dari terakhir, Anna mengeluarkan suara puh pelan. Kok mirip ya.. dengan status facebook ABG jaman sekarang, fuuuuhhh… padahal ini tahun 38.

27. Halaman 256. Kalo Anda liat di peta Indonesia, akan nampak bahwa pegunungan Bukit Barisan itu tidak  menyentuh Bandar Lampung (atau Teluk Lampung). Jadi akan tidak mungkin terlihat dari pesisir pantai di seputaran Bandar Lampung adanya pemandangan Bukit Barisan. Lain halnya kalo yang dimaksud oleh  Tere Liye ini Teluk Semangka itu mungkin masih kelihatan Bukit Barisan nya.

28. Halaman 295, Tere Liye menggambarkan proses melahirkan Mbah Putri yang berlangsung secara independent. Ga tau di Sumatera Barat atau di Jawa, yang jelas di mana-mana itu baik jaman dulu maupun sekarang orang melahirkan selalu ada yang bantuin, entah dia dukun, bidan, atau dokter. Saya jadi teringat film tahun 80-an yang dibintangi oleh Barry Prima di mana ada orang melahirkan di samping kali dan anaknya langsung dikasi makan ama buaya, mungkin Tere Liye mendapat inspirasi dari situ. 

29. Kalimat atas nama kemanusiaan halaman 302. Ini tahun 38 bro…

30. Halaman 303. Paragraf ketiga dari terakhir, bicara aja harus pake tenaga?

31. Halaman 304. Paragraf ketiga: “ Bunda Upe diam sebentar. Menyeka hidung dengan ujung baju.” Sepertinya Tere Liye penggemar Iwan Fals, especially lagu Azan Subuh Masih di Telinga. Ya… ga harus pake ujung baju mungkin kalo ngelap ingus, pake lenso kek, sapu tangan kek, handuk kek. Kayak anak kecil aja ingus dilap pake ujung baju. Lagian ngapain cuma cerita seperti itu dibawa nangis? Anda bayangin aja gimana ibu-ibu pas ngegosip, cerita-cerita pengalaman pahit, dan sejenisnya. Ga juga sampe nyeka ingus pake ujung baju.

33. Halaman 337. Kata minggir berasal dari bahasa jawa. bukan bahasa melayu.

34. Halaman 346 paragraf ke-lima Ujaran “Eh” (yang juga dijumpai pada halaman 328 paragraf terakhir) tidak pernah digunakan dalam dialog berbahasa Indonesia. Seharusnya kalimatnya adalah “… Kosong, tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Ya?…. Mungkin Tere Liye keseringan nonton film Naruto atau film-film barat yang biasanya dipasangin substitle di mana ujaran ”Eh” itu kalo di-Bahasa-Indonesiakan setara dengan ujaran “Ah”.

35. Halaman 367-376. Sebenarnya itu plot yang terlalu dipaksakan kalo Daeng Andipati harus buka-bukaan tentang rahasia keluarganya hanya lantaran sebuah insiden kecil. Bukankah sejak kecil dia sudah biasa bersandiwara? Kejadian ketika dia datang dengan manis ke pemakaman ayahnya, jadi ternodai lantaran gara-gara sebuah upaya pembunuhan dia kemudian membuka sandiwaranya tersebut. Dan merupakan sebuah kejanggalan jika seorang tokoh yang dikenal sangat licik dan bejat di masyarakat (punya banyak tukang pukul dan jadi rentenir), sekaligus bisa menjadi tokoh yang dikagumi (banyak yang datang ke upacara pemakamannya).
Persis seperti kejadian Mbah Kakung yang dipaksakan menjadi Bolot, sekali lagi Tere Liye gagal dalam membentuk karakter dari tokoh yang dimunculkannya dalam novel ini.  

36. Frase “Rombongan Kesultanan Ternate” yang sering muncul di banyak halaman bisa ga dibahasakan dengan bahasa yang lebih deskriptif dan penuh warna a’la sebuah novel?

37. Halaman 465 paragraf terakhir, Kapal Blitar Holland dikatakan Transit sebentar di Aden. Yang jadi pertanyaan besar adalah yang transit ini kapalnya atau penumpangnya? Kalo kapalnya yang transit, transit ke mana, ke kapal lain (kapal di dalam kapal) atau ke apa? Kalo penumpangnya yang transit, bukankah dari pertama dikakatakan cuma ada satu kapal?

38. Halaman 485, bagaimana bisa seorang pelaut ulung membiarkan sebuah ombak memukul lambung kapal? Kecuali Anda baru pertama belajar menjalankan kapal, Anda pasti akan tahu agar kapal tidak terbalik maka harus dijalankan sejajar datangnya ombak. Kalopun pada akhirnya kapal terbalik, maka kemungkinannya ada dua, ombaknya terlalu besar/tinggi sehingga ketika selesai melewati ombak kapal oleng dan terjungkir (seperti yang terdapat di film Wolf of Wallstreet) atau kapalnya memang pada saat itu kemasukan banyak air  karena terlalu berlama-lama terjebak di dalam badai sehingga pada akhirnya oleng dan tenggelam. 

Satu-satuya kasus ketika kapal dipukul oleh ombak dan terbalik hanya pada kasus kapal kecil dan sang pengemudi tidak tahu bagaimana membaca situasi datangnya angin/ombak.

39. Halaman 486, Titanic nih ye….

40. Halaman 520. Sebenarnya di tahun-tahun 1938 itu belum ada yang namanya perompak di perairan Somalia. Ketika terjadi perang Sipil di Somalia di tahun 1991 negara Somalia sama sekali bisa dikatakan “tanah tidak bertuan”. Dan baru sekitar tahun 2005 ke atas, Somalia mulai dihuni oleh perompak dan bajak laut.

41. Halaman 522, dialog penuh “canda” antara bajak laut dan korban itu dalam kenyataannya sama sekali tidak ada. Kalo kapal Anda dibajak, maka Anda akan diperlakukan bak tahanan/sandera: disuruh tiarap, tangan diborgol, dibentak, disuruh ini itu dan lain-lain. Mungkin alam bawah sadar Tere Liye sedikit terpengaruh oleh tayangan berulang-ulang dari Pirates of Carribean yang sering muncul di RCTI.

42. Halaman 534, ini Serangan Umum Satu Maret ya…?