Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Sunday, October 21, 2018

Hubungan Antara Gempa Palu, Sigi dan Donggala dengan Perilaku Seks Menyimpang Warga Setempat

Berdasarkan teori fisika gempa bumi di sebabkan adanya patahan di mana volume batuan dalam skala besar mengalami diskontinuitas. Akibat diskontinuitas ini antara volume batuan tadi terbagi menjadi dua buah pelat tektonik yang mengalami gerak relatif satu sama lain dengan arah berlawanan. Gerak antara dua buah bidang permukaan mengakibatkan dua kemungkinan yakni ada gesekan atau tidak. Pada pelat tektonik, adanya gesekan lama kelamaan mengakibatkan pergerakan lanjutan dari dua buah pelat terhambat atau terkunci. Namun karena ada desakan terus menerus maka hambatan tadi akan terlepas dan ini yang menghasilkan pelepasan energi dalam skala besar yang termanifestasi ke dalam wujud gempa bumi. Hal ini bisa dianalogikan dengan kasus ketika kita mendorong meja di lantai yang licin, tentu mejanya akan terdorong dengan mudah. Namun bagaimana jika di lantai tadi tiba tiba dipasang polisi tidur, tentu kita akan terhambat mendorongnya. Dan kita perlu energi tambahan untuk mendorongnya, sehingga begitu polisi tidurnya terlewati maka mejanya meluncur dengan cepat.


Jika pusat (hiposenter) dari gempa berada di bawah permukaan laut, maka energi gempa tadi akan memindahkan atau menggeser sebagian dari dasar laut (seabed), yang berakibat volume air di atasnya akan berpindah juga dan inilah yang menjadi pemicu sunami. Sementara pada daratan, gempa di samping meluluhlantahkan bangunan yang ada, terdapat pula fenomena lain yakni likuifaksi di mana tanah yang semula keras berubah sifatnya menjadi cair. Pada kasus gempa Palu, justru bencana likuifaksi ini yang paling banyak memakan korban. Hipotesis yang beredar bahwa di daerah yang mengalami likuifaksi ini yakni kelurahan Petobo dan Balaroa terdapat tingkat kejenuhan yang tinggi pada lapisan tanah karena terlalu banyak menampung air sehingga ketika terjadi gempa goyangan pada lapisan tanah mengakibatkan kantong-kantong air dalam tanah tadi bercampur baur dengan tanah di sekitarnya sehingga membentuk lumpur. Misalnya saja di daerah Petobo di mana awal mula likuifaksi terletak pada saluran irigasi yang berada di hulu dan seterusnya hingga ke bawah sampai ke jalan Dewi Sartika. Jadi rembesan air yang mengalir di irigasi tadi memenuhi lapisan bawah dari tanah di Petobo sehingga membuatnya tidak stabil dan rentan likuifaksi atau longsor. Hal ini kemudian diperparah oleh topografi lembah palu sendiri yang membentuk lereng. Mulai dari muara sungai Palu di jembatan empat yang roboh itu hingga ke hulu di daerah kulawi semuanya berawal dari kaki pegunungan dan menurun hingga ke pinggir sungai jadi tidak sepenuhnya dataran rendah. Sementara daerah Balaroa tepat berada di kaki gunung Gawalise di mana tingkat kemiringan kawasan ini boleh dibilang cukup tinggi. Beberapa daerah lainnya misalnya di desa Jono Oge juga terdapat fenomena serupa bahkan di desa ini justru area yang mengalami likuifaksi lebih luas dibandingkan dengan dua area sebelumnya kendatipun jumlah korban jiwa yang ditimbulkan tidak begitu besar.


Sampai saat ini proses evakuasi terhadap korban terus dilangsungkan, kendatipun berdasarkan SOP dari BNPB, proses evakuasi hanya dilangsungkan maksimal dua minggu dengan perhitungan bahwa lebih dari jangka waktu tersebut korban yang tertimbun sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Selanjutnya berdasarkan keputusan para pihak yang berkepentingan, kedua kawasan ini yakni Balaroa dan Petobo nantinya akan dijadikan monumen likuifaksi yang mirip monumen sunami SPBU apung di Aceh. Tentu ini sebuah ironi mengingat situasi Petobo dan Balaroa yang berada di tengah kota yang pasti berbeda dengan situasi perkampungan terpencil di lereng pegunungan misalnya, yang akan sangat aneh jika dibiarkan masih berupa gundukan tanah yang menampung korban-korban bencana likuifaksi. Bukankah lebih baik dan lebih terhormat jika mayat-mayat para korban tersebut dievakuasi dulu kemudian tanah-tanah yang menjadi gundukan yang bercampur dengan rumah-rumah dipindahkan ke luar kota. Tentu ini akan memakan biaya yang tidak sedikit mengingat posisi Palu sendiri hanya merupakan sebuah ibukota provinsi kecil di Indonesia. Tapi jika dibandingkan dengan biaya yang dihabiskan dalam proyek abadi perbaikan longsor jalur kebun kopi yang menghubungkan Tawaili dan Toboli yang sejak saya masih kecil hingga saat ini tidak ada habisnya, tentu proses evakuasi sampai tuntas terhadap korban likuifaksi Petobo-Balaroa bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Posisi Balaroa sendiri tidak jauh dari Pasar Impres, yang merupakan pasar sentral terbesar di Sulawesi Tengah. Bagaimana ini akan menjadi daya tarik wisatawan sementara tidak jauh dari lokasi ini terdapat timbunan mayat dengan berbagai posisi akibat mati konyol tertimbun tanah. Apakah para pencicip kuliner di Pasar Inpres tidak akan mencium aroma angker hantu-hantu bergentayangan yang minta diperlakukan secara wajar. Bagaimana para turis bisa menikmati pemandangan di inpres jika ada saja suara-suara halus di telinga mereka, atau bahkan adanya orang-orang kesurupan akibat kerasukan roh-roh para korban bencana likuifaksi yang ingin diperlakukan secara adil. Jika kita bandingkan situasi di Balaroa pasti tidak akan berbeda dengan situasi pada monumen kekejaman Pol pot di vietnam, di mana kendatipun di situ sering didatangi wisatawan, namun kesan yang didapatkan jauh dari kesan keceriaan layaknya situs-situs wisata pada umumnya. Petobo sendiri merupakan daerah yang sekarang ini, sebelum bencana likuifaksi, sedang gencar-gencarnya diadakan pembangunan perumahan penduduk skala besar. Dan kawasan ini langsung terhubung dengan kawasan perumahan di Lasoani. Ada begitu banyak proyek perumahan yang sedang dibangun di sekitar kawasan ini. Hal yang pertama yang harus dibenahi adalah bagaimana menghubungkan kembali Jalan lingkar lasoani-petobo seperti sedia kala. Untuk itu timbunan tanah yang berada di sepanjang jalan H. M. Soeharto harus di bersihkan demikian pula gundukan tanah yang bercampur reruntuhan perumahan beserta mayat-mayat yang terkandung di dalamnya.


Dalam menanggapi bencana tersebut, beberapa kalangan banyak mengaitkan penyebabnya dari aspek non-fisis. Tepat pada hari terjadinya bencana tersebut sempat diadakan pembukaan festival tahunan Palu Nomoni yang dalam penyelenggaraannya dimasukkan beberapa ritual-ritual yang dianggap bernuansa syirik atau pagan. Dalam bahasa setempat ritual ini disebut balia, di mana sajian berupa makanan tradisional dan kepala binatang di letakkan di pinggir pantai dan dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap penguasa laut setempat. Sekilas ritual ini mirip ritual tabot di Bengkulu, namun berbeda dari segi tujuan penyelenggaraannya, di mana acara Tabot sendiri merupakan ritual yang diadakan untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad Husein bin Ali di Karbala. Ritual balia murni merupakan ritual sisa-sisa kebudayaan animisme yang dihidupkan kembali demi menggiatkan bisnis pariwisata di kota Palu. Jadi dengan adanya festival ini maka akan disedot jumlah pengunjung tahunan di kota Palu yang tentu akan berdampak positif bagi perekonomian di kota ini. Namun karena adanya provokasi dari oknum-oknum tertentu khususnya ormas-ormas Islam semisal Jamaah Tabligh dan HTI maka semua pihak ikut-ikutan mengkambing hitamkan ritual gagasan Wakil Walikota Palu Sigit Purnomo Said (lebih dikenal sebagai Pasha Ungu) sebagai sumber datangnya bencana.

Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa bencana ini dikibatkan oleh perilaku amoral masyarakat setempat yang sudah sangat memprihatinkan. Konon kelurahan Petobo yang terkena dampak likuifaksi merupakan pusat perjudian di Kota Palu di mana para penjudi yang datang ke sana berasal dari berbagai daerah di Sulawesi bahkan ada yang berasal dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Di sini biasa diadakan festival sabung ayam atau lomba karapan sapi. Kendatipun kedua acara ini sifatnya hiburan semata tentu tidak akan lepas dari adanya unsur taruhan (judi) yang pasti dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di situ. Dan jika judi sudah begitu marak maka bentuk kemaksiatan lain akan serta merta hadir di tempat itu. Misalnya penjualan minuman keras akan sangat mudah ditanyakan ke warga setempat. Di Petobo bahkan terdapat beberapa bisnis prostitusi yang berkedok sebagai panti pijat yang menawarkan jasa seks dengan beragam tarif.

Beberapa sumber mengatakan bahwa pergaulan bebas di kota Palu juga bukan hal yang tabu lagi. Para pelajar dan Mahasiswa di kota ini sudah sebegitu permisifnya dalam melakukan hubungan seksual. Hal ini bisa dengan mudah dibuktikan dengan mendatangi kos-kosan yang tersebar di berbagai tempat di Kota Palu, misalnya yang berada di Jalan Kancil, Anoa I, atau di kawasan R. E Martadinata Tondo. Perilaku seks pelajar dan mahasiswa sudah bukan lagi sebatas hubungan sepasang kekasih yang menjalin ikatan tanpa hubungan nikah, namun sudah mulai menjurus pada tindakan seks ekstrim misalnya pesta seks (orgy), pertukaran pasangan (swinger), dua lawan satu (threesome), menggilir wanita (gang bang), atau seks yang disertai dengan pesta sabu-sabu. Menurut pendapat warga, bukan hal yang sulit untuk mengajak kencan wanita di Kota Palu. Khususnya wanita suku Bugis yang dikenal sangat permisif dan berlibido tinggi. Yang kita perlukan hanyalah sebuah akun media sosial, sikap ramah dan pandai merayu, disertai dengan status sosial yang tidak memalukan. Minimal kita mempunyai kendaraan pribadi dan cukup uang untuk mengajak si wanitanya jalan, maka kita sudah bisa mendapatkan teman tidur atau bahkan pacar untuk berbulan-bulan yang bisa diajak berhubungan seksual setiap malam. Dan wanita di Kota Palu khususnya wanita suku Bugis (menyumbang 30 persen populasi kota Palu) bukanlah wanita yang mau diikat. Kendatipun sudah ditiduri, tidak lantas mereka mengejar-ngejar laki-laki untuk menuntut dijadikan isteri, mereka malahan mencari laki-laki lain hingga mereka mendapatkan laki-laki yang bisa memuaskan nafsu birahi mereka. Dan untuk ini, wanita suku Bugis rela memberikan apa saja baik itu uang dan harta bagi si laki-laki.

Seks di Kota Palu bukan hal yang mahal jika kita begitu jeli dalam mencari si wanitanya. Memang kawasan pelacuran di sini sudah ada yakni dikenal sebagai Tondo kiri, dan itu butuh tarif yang menguras kantong untuk sekali kencan. Namun pusat pelacuran ini hanya ditujukan bagi para pencari wisata seks. Tentu tidak ada orang yang tiap hari datang ke pelacuran, kecuali memang germo atau tukang pukul yang biasa mangkal di situ, karena pasti akan menghabiskan uang. Pada hakikatnya wanita-wanita bugis itu adalah wanita yang begitu murahannya bahkan terhadap orang yang baru dikenalnya. Hal ini mungkin dikarenakan faktor adat suku bugis sendiri yang konon biasa terlibat ritual pesugihan (disebut sebagai mattiro deceng). Orang-orang di Sulawesi semua tahu kalau suku bugis itu mempunyai uang yang banyak yang tercermin dari bangunan rumah yang mereka miliki. Jika penduduk setempat hanya berumah gubuk dengan atap rumbia, maka suku Bugis umumnya berumah beton dengan lantai sampai empat tingkat. Sementara pendapatan mereka sehari-hari hanya berdagang dengan pendapatan tidak seberapa karena pembeli juga jarang. Tentu ritual pesugihan bukan ritual main-main, karena kita sudah berurusan dengan alam non-material yang melibatkan kekuatan supranatural. Biasanya ada tumbal yang harus diserahkan dan ini adalah anak kandung kita sendiri. Pembaca bisa tanya ke suku Bugis, dan mereka pasti bercerita tentang adanya anak kandungnya yang sudah wafat. Logikanya ketimbang anak tadi mati diserahkan pada penguasa kegelapan, bukankah masih lebih manusiawi jika kita setubuhi sendiri? Dan dari sinilah kebejatannya berasal. Hampir pasti bahwa jika anda mendapati wanita suku Bugis yang cantik dan suka mentraktir anda makan, percayalah bahwa Ia sudah disetubuhi ayah kandungnya sendiri. Dan jika demikian bukan hal yang sulit untuk mengajak si wanita tadi untuk berhubungan seksual, mengingat seorang ayah yang menjadi panutan itu pula yang merenggut kehormatan. Dan si wanita tersebut sudah berfungsi sebagai pelacur keluarga, yang digilir oleh ayah kandung, kakak atau adik laki-laki, saudara-saudara sepupu, teman-teman di kampus atau siapapun yang disenanginya. Dan pembaca bisa membuktikan pernyataan ini jika lama tinggal di Sulawesi misalnya di Makassar, Palu, Kendari, atau kota-kota lainnya sampai kemudian mendapatkan jodoh baik itu pacar ataupun istri di sini dari suku Bugis.

Melamar gadis Bugis itu sama saja membeli kucing dalam karung. Anda harus pikir-pikir dulu karena pasti anda akan kecewa nantinya. Bisa dipastikan sebagaian besar wanita suku Bugis itu adalah wanita yang sudah kehilangan keperawanannya sejak dini. Kalopun anda dengan terpaksa melamarnya dengan biaya yang mahal, karena semua juga tahu melamar suku Bugis itu pasti butuh biaya mahal, Anda jangan marah dulu jika nanti istri yang didapatkan sudah tidak perawan ting-ting. Karena pasti ada kompensasi yang diberikan oleh pihak keluarga si wanita. Misalnya Anda juga bisa bersetubuh dengan mertua perempuan atau ipar perempuan Anda kalau mau. Dan sudah menjadi rahasia umum jika dalam sebuah keluarga Bugis itu pesta seks atau orgi itu adalah hal yang rutin diadakan. Di mana seorang suami, istri, ipar dan suaminya, ayah dan ibu mertua telanjang bareng untuk memuaskan nafsu birahi mereka dari malam sampai pagi.

Jika beruntung sebenarnya lebih bagus memacari wanita Bugis ketimbang menjadikan istri. Karena wanita itu sebenarnya tidak butuh dinikahi untuk disetubuhi. Mereka juga butuh kepuasan. Dan bagi si wanitanya, buat apa memperumit suatu tindakan yang justru menguntungkan bagi diri kita? Tapi umumnya karena adanya benturan budaya timur yang masih melekat di masyarakat setempat dan adanya pengawasan dari instansi tertentu atau ormas keagamaan, maka biasanya si wanita tidak begitu saja mau diajak berhubungan seksual. Sebagian dari mereka menuntut untuk dijadikan isteri, karena malu dengan teman yang juga banyak sudah menikah atau tidak enak saja dicap sebagai wanita tidak baik sementara mereka punya kedudukan tertentu di masyarakat. Jadi praktik seks bebas ini hanya menjadi rahasia umum yakni semua juga mempraktekannya namun tidak menyatakannya secara terbuka, hanya membatasi informasinya pada kalangan terdekat. Dan hal ini sudah berlangsung turun temurun sejak jaman kerajaan Gowa-Tallo pimpinan Sultan Hasanuddin. Jika pembaca pernah membaca buku sejarah kerajaan Makassar, pasti pernah mendengar sosok Syekh Yusuf Tuanta Salamaka yang harus lari ke Jawa bahkan dibuang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat perilaku amoral di keraton kerajaan Makassar yang suka pesta seks dan miras yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang dipahaminya. Jadi wanita suku Bugis akan memberikan apapun untuk laki-laki yang disenangi sepanjang laki-laki itu bisa memuaskan hasrat seksualnya. Berbeda dengan wanita dari suku Jawa misalnya yang lebih memilih sendiri atau menjadi pelacur ketimbang terikat dengan laki-laki yang perangainya tidak baik, karena mereka berpikir bahwa semua laki-laki juga butuh seks. Dan di era sosial media seperti sekarang ini perlahan tapi pasti tabir yang selama ini ditutup-tutupi mulai terkuak. Pembaca bisa memeriksa sendiri dengan berkelana di jejaring sosial bahwa wanita suku Bugis itu berlibido tinggi dan sangat mudah untuk diajak berhubungan seksual. Tidak peduli itu dosen di perguruan tinggi ternama atau mahasiswa cerdas dengan IPK tinggi, wanita suku Bugis itu tak kalah murahannya dengan cewek cabe-cabean yang bekerja yang sebagai pemulung di pinggir sungai yang kotor.

Di kota palu perilaku Suku Bugis yang permisif dan suka menyetubuhi anak kandung sendiri ini ternyata ditularkan ke penduduk setempat. Dan hal inilah yang menjadi biang kerok kerusakan moral di Kota Palu. Perkiraan kasar saya bahwa 70 persen wanita di Kota Palu adalah wanita yang pernah berhubungan seksual secara inces baik itu dengan ayah kandungnya sendiri ataupun saudara kandungnya, baik itu kakak atau adik. Termasuk yang terjadi di kawasan Balaroa atau Petobo. Berdasarkan data yang bisa dipercaya penduduk kelurahan Balaroa mayoritas adalah suku Bugis, yang sebagian bekerja sebagai pedagang kain dan tekstil di Pasar Inpres Manonda. Dan jika praktek inces jadi merebak di kawasan itu, bukankah hal yang masuk akal untuk mendeduksi bahwa bencana likuifaksi yang tidak terprediksi ini merupakan murka dari Tuhan yang sudah kehilangan kesabaran melihat perilaku bejat masyarakat setempat?

Saya berharap kedepannya bencana yang maha dahsyat ini tidak terulang lagi. Kendatipun semua pakar sudah memaklumi bahwa bencana likuifaksi rentan terjadi mengingat tekstur tanah dan topografi Kota Palu sendiri yang berpotensi untuk itu. Namun hal-hal lain semisal runtuhnya bangunan atau sunami bisa ditanggulangi dengan memperbaiki prasarana yang ada, misalnya dengan memenuhi syarat bangunan tahan gempa dan dengan menyediakan sensor peringatan sunami di sekitar pantai. Jadi dengan adanya pembenahan infrastruktur mestinya juga harus dibarengi dengan pembenahan moral dari masyarakat setempat. Sehingga kita berharap alam dapat bersahabat baik dengan kita. Wallahu A’lam Bishawab.

Wednesday, November 8, 2017

Eksperimen Bedford dan Sejenis Tentang Bumi Datar

Untuk membuktikan bahwa bumi ini datar sebenarnya adalah hal yang cukup sederhana, dan ini sudah dilakukan oleh banyak ilmuan-ilmuan skeptis sebelumnya salah satunya adalah eksperimen kedataran Bedford yang dilakukan oleh Samuel Birley Rowbotham. Jalannya eksprimen bisa diringkas pada gambar di atas. 

Panjang $AD$ tentu bisa diperoleh dari dari rumus pitagoras yakni: $AD^2 = AB^2 + BD^2$. Di mana $BD$ di sini posisi benda yang bisa terlihat oleh mata kita (Horizon Kita). $AB$ dan $AC$ merupakan jari-jari bumi. Dengan demikian suatu benda yang terletak sejauh $BD$ dari posisi kita sebagai pengamat yang berdiri di $A$ oleh adanya kelengkungan bumi maka benda tersebut akan berada pada posisi sejauh $CD$ di bawah horizon pandangan kita.

Kita bisa menggunakan data faktual untuk menguji premis ini. Dengan jari-jari bumi sebesar $3963$ mil, maka akan diperoleh untuk tiap satu mil:

$$ AD^2 = 3693^2 + 1^2 = 15705,370 $$ Atau $AD = 3963,000126$ yang tentu lebih besar dari jari-jari bumi. Jadi tiap satu mil akan terdapat penurunan sebesar $ CD = 3963 - 3963,000126 = 0,000126$ mil dari Horizon pandangan kita. Bagaimana kalau nilai $BC$ cukup besar, berapakan nilai penurunannya?

Kita dapat melakukan perhitungan yang sama sehingga diperoleh nilai penurunan sebesar $ 352 $ kaki atau $100 $ meter untuk nilai $BC$ sebesar $23 $ mil.

Persoalannya adalah berdasarkan eksperimen-eksperimen yang sudah dilakukan oleh ilmuan-ilmuan bumi datar, maka objek yang seharusnya berada 100 meter di bawah horizon pandangan kita (karena kelengkungan bumi), namun nyatanya masih bisa terlihat. Ini jarak yang cukup besar, ibaratnya kita berdiri jauh dari tepi jurang, namun masih bisa melihat ke ke dalaman jurang tersebut, sama sekali bertentangan dengan akal sehat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sama sekali tidak bulat seperti yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah.

Silakan pembaca mengujinya sendiri!

Tuesday, November 7, 2017

Konstelasi Bintang Bumi Datar

Adalah hal yang menarik mengamati ribuan bahkan jutaan bintang di langit malam. Bahwa bintang-bintang tersebut membentuk pola-pola tertentu yang konon dikatakan berkaitan dengan nasib kita. Maka timbullah ilmu Astrologi yang telah lebih dulu ada sebelum ilmu Astronomi. Astronomi dibangun dengan prinsip heliosentris di mana matahari dipandang sebagai pusat dari tata surya. Sementara astrologi sendiri jauh mendahuluinya, sebelum Copernicus atau Galileo lahir, astrologi sudah dikenal secara luas oleh manusia. Dan tahukah kamu bahwa Astrologi sendiri didasarkan pada pandangan bahwa bumi itu adalah pusat alam semesta tidak berputar mengelilingi matahari seperti yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah.

Dengan memandangi dan melakukan perenungan sederhana terhada posisi bintang-bintang di langit malam, sebenarnya kita sudah bisa menyimpulkan bahwa bumi itu datar dan tidak berputar mengelilingi matahari. Karena jika bumi berputar mengelilingi matahari, maka rasi bintang layang-layang di langit bagian selatan kita akan nampak terbalik selama selang 6 bulan.

Ketika tiba bulan Januari, maka bintang A posisinya berada di atas bintang B, namun ketika tiba bulan Juli, maka bintang B lah yang berada di atas bintang A. Hal ini bisa dimengerti, karena posisi langit malam dalam selang waktu 6 bulan tersebut saling bertolak belakang. Di bulan Januari arah kanan menandakan langit malam dan arah kiri menandakan siang hari arah datangnya sinar matahari. Sebaliknya di bulan Juli, arah kiri lah yang jadi langit malam, dan arah kanan menandakan siang hari. Namun karena kita begitu kecil maka kita hanya berdiri tegak tanpa peduli ke arah mana langit yang dijunjung kepala kita.

Jika demikian halnya tentu rasi bintang layang-layang di langit selatan itu akan saling terbalik di kedua bulan tersebut, tapi adakah yang mengamati demikian?

Tuesday, October 13, 2015

Perkembangan Embrio (janin) di Dalam Al-Quran

Salah satu topik fenomenal yang dijadikan senjata ampuh oleh para simpatisan Islam dalam membela kebenaran Islam adalah masalah perkembangan janin di dalam kandungan. Dikatakan bahwa Al-Quran surat Al-Mu’minun ayat 12-14 sangat detail membahas mengenai masalah ini.

Misalnya dikatakan bahwa mula-mulai bayi berada dalam fase sperma yang dipancarkan (nutfah), kemudian masuk fase segumpal darah (alaqah), kemudian masuk fase segumpal daging (mughdah), kemudian terbentuknya tulang (fase kelima), kemudian fase ke enam adalah tulang tadi kemudian dibungkus oleh daging, dan yang terakhir adalah mengubahnya ke dalam bentuk yang lain.

Tulisan kali ini kembali ingin meluruskan kesalahan/dosa yang sering dilakukan oleh pemikir pemikir muslim tersebut. Kesalahan utama mereka adalah menggunakan sains sebagai alat tafsir Al-Quran dan mengesampingkan peran Hadits. Padahal jaman dahulu para pemikir bahkan sampai dipenggal lehernya lantaran mengatakan Al-Quran itu sebagai makhluk. Alam semesta dan prinsip kerjanya (hukum-hukum yang mendasarinya) di mata para ulama salaf adalah makhluk. Sementara Al-Quran mendahului itu semua (Qadim). Ilmuan muslim modern bukan hanya mengulang bidah tersebut, namun lebih jauh lagi yakni dengan mencoba membuang peran Hadits sebagai penafsir utama isi Al-Quran karena ketakjuban mereka terhadap sains.

Terdapat beberapa wawasan umum yang bisa diketahui pembaca untuk melihat persoalan ini secara lebih objektif (dan membuang kefanatikan yang ada di kepala pembaca). 

Pertama, dalam beberapa Hadits sudah disebutkan bahwa fase perkembangan janin di dalam kandungan itu masing-masing berlangsung selama 40 hari. Artinya fase mula-mula yakni fase sperma tadi berlangsung selama 40 hari.  Padahal nyatanya dalam pengetahuan modern fase sperma itu tidak lebih dari 7 hari. Demikian pula pada hari ke 80, bentuk janin itu sudah mulai ‘terdefinisi’ secara jelas, dan tidak bisa lagi bisa dikatakan sebagai segumpal darah.

Kedua,  pernyataan Al-Quran bahwa tulang mendahului daging sama sekali bertentangan dengan fakta yang diketahui dalam pengetahuan modern di mana yang terjadi adalah tulang dan daging (otot) itu berkembang secara bersamaan (bukan yang satu mendahului yang lain) dan berasal dari substansi yang sama yang dikenal sebagai mesoderm.

Ketiga, tidak ada peran sel telur di sini. Dikatakan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan semata-mata berasal dari sel sperma. Dan rahim hanya berperan sebagai penampung sperma tersebut. Tidak ada sebutan secara eksplisit bahwa sperma membuahi sel telur. Terdapat  usaha yang  sia-sia dalam menerjemahkan kalimat nutfa amsyaji sebagai air yang bercampur. Sementara terjemahan yang biasa digunakan untuk kata nutfah itu (yang bisa ditemukan pada ayat-ayat lain) adalah sperma (air mani).

Keempat, (dalam kaitannya dengan ayat Al-Quran yang lain) sperma itu bukan berasal dari tulang sulbi, tulang  rusuk, atau apalah istilahnya. Akan tetapi berasal dari testis. 

Soal kenapa Nabi Muhammad bisa memiliki pengetahuan tentang embriologi ini sebenarnya saya juga kurang begitu paham. Tapi kita bisa menggunakan beberapa analisis sejarah. Misalnya saja jauh sebelum Nabi Muhammad itu sudah terdapat beberapa pemikir-pemikir kuno yang merumuskan proses perkembangan janin ini. Dua di antaranya adalah Aristoteles dan Galen. Dan pemikiran-pemikiran mereka ini menyebar ke seantero mediterania termasuk di jazirah Arab. Dan budaya penyebaran informasi pada waktu itu yang hanya sebatas dari mulut ke mulut mengakibatkan apa yang sampai ke Nabi Muhammad hanya ringkasannya saja.

Referensi:
http://www.answering-islam.org/Quran/Science/embryo.html

Friday, October 9, 2015

Hubungan Golden Rasio dengan Kota Mekkah

Tulisan kali ini membahas mengenai Golden Ratio (Rasio Emas, atau sebut saja Golden Rasio aja lah). Jadi di beberapa situs muslim sering dijumpai tulisan yang membahas mengenai Golden Rasio ini yang disangkut pautkan dengan posisi Ka’bah sebagai arah kiblat umat Islam. Dan ini dijadikan alasan oleh para simpatisan Agama Islam untuk menjustifikasi kebenaran Islam: bahwa Al-Quran adalah kitab yang keluar langsung dari mulut pencipta alam semesta ini. Kenapa saya gunakan kata mulut di sini, adalah karena di Al-Quran sendiri sudah disebutkan bahwa Allah itu juga memiliki anggota tubuh seperti halnya manusia. Dan seperti halnya tulisan-tulisan saya yang lain, tulisan ini bermaksud meluruskan kekeliruan kekeliruan tersebut.

Apa itu Golden Rasio? Dan bagaimana Golden Rasio ini bisa begitu fenomenal, bahkan mencakup ke bidang-bidang lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Sejarah valid mengenai Golden Rasio bermula ketika matematikawan besar asal Yunani (kuno) bernama Euclid mengajukan pertanyaan yakni, jika diberikan sebuah garis AE, tentukan titik B di mana rasio AE/AB = AB/BE (lihat gambar).

 2
Jawaban pertanyaan inilah yang menghasilkan nilai Golden Rasio itu (yakni panjang AE) yang besarnya adalah 1.618033. Soal apakah Euclid sendiri yang pertama-tama menemukan Golden Rasio ini ataukah Euclid hanya merangkum hasil pemikiran ilmuan sebelumnya tidak bisa ditentukan secara pasti. Konon terdapat beberapa catatan sejarah (yang masih diperdebatkan) bahwa konsep Golden Rasio ini sudah dikenal sejak abad ke 24 sebelum masehi. 

Dikatakan bahwa nilai Golden Rasio ini banyak dijumpai di alam. Contohnya terdapat hewan laut bernama Nautilus (yang saya kurang tau apa bahasa sundanya, untuk lebih jelasnya lihat gambar) yang bentuk cangkangnya itu tunduk pada aturan Golden Rasio.  Kemudian spiral galaksi bimasakti yang juga dikatakan tunduk pada aturan Golden Rasio. Kemudian juga cara pengaturan fret pada alat musik gitar yang juga dikatakan tunduk pada aturan Golden Rasio, dan masih banyak hal lainnya. 

Nautilus-Large 
Namun kebetulan saya seorang ilmuan, maka saya skeptis dan mempertanyakan hal-hal tersebut. Apa iya bentuk spiral dari galaksi tunduk pada aturan Golden Rasio? Apa iya bentuk cangkang Nautilus tunduk pada Golden Rasio? Apa iya jarak fret pada gitar tunduk pada aturan Golden Rasio?

Sebenarnya saya mendapati sebuah artikel ilmiah di internet yang ditulis oleh fisikawan yang isinya mengkritisi keistimewaan Golden Rasio ini.  Dalam tulisan tersebut kita diperintahkan bahwa untuk membuktikan bahwa hal-hal yang disebutkan tersebut tunduk pada aturan Golden Rasio atau tidak maka kita harus mengukurnya. Fisikawan itu diperintahkan untuk mengukur, bukan sekedar berasumsi. Kemarin saya waktu kuliah S1, semester pertama diajarkan mengenai konsep-konsep penting di dalam pengukuran antara lain nilai skala terkecil (NST), ketelitian pengukuran relatif (KTPR), angka berarti (AB), standar deviasi (SD), dan lain-lain tetek bengek. Sebenarnya saya lebih senang matematikanya ketimbang fisikanya sehingga saya tidak terlalu menghayati kegiatan pengukuran ini, walaupun belakangan saya baru tahu bahwa itu semua ada manfaatnya. Jadi di dalam pengukuran ini dikatakan bahwa pengukuran valid jika nilai eror itu berada di rentang plus minus 2 persen.

Ternyata setelah diukur oleh para ilmuan, nilai cangkang Nautilus itu berada pada jarak yang sangat jauh berbeda dengan nilai Golden Rasio (di luar rentang plus minus 2 persen). Nilai rasio cangkang Nautilus secara umum (dengan mengambil sebanyak mungkin sampel cangkang) berada pada rentang 1.23 hingga 1.43, yang tentunya sangat jauh dari nilai 1.61 nilai Golden Rasio. Ini berarti dugaan kita selama ini bahwa nilai rasio cangkang Nautilus tunduk pada Golden Rasio tidak lebih dari sekedar duga-duga. Ada nilai lain yang dikatakan hampir mendekati rasio cangkang Nautilus  yang disebut sebagai Silver Rasio (lha istilah apa lagi ini…) yang nilainya 1.411 (atau lebih tepatnya 1  + akar(2)). Anda bisa baca artikel tersebut untuk melihat elaborasi yang lebih lengkapnya. Saya hanya berharap nama Euclid tidak ketutup ama si penemu Silver Rasio ini lantaran persoalan cangkang Nautilus.

Untuk kasus lain, misalnya rasio fret pada gitar silakan pembaca melakukan pengukurannya sendiri. Saya hanya bisa pesan satu hal: gunakan metode pengukuran yang valid serta jangan lupa berkonsultasi pada pakar fisika terdekat. Kali aja pembaca bisa buat jurnal dari situ dan dapat dana hibah.

Kemudian soal apakah spiral Galaksi Bimasakti atau galaksi lainnya benar-benar tunduk pada Golden Rasio ini merupakan persoalan yang sangat sulit, rumit, dan tentunya sangat makan ongkos. Pertama-tama pembaca harus masuk ke universitas bergengsi dan mengambil jurusan astronomi. Gunanya adalah agar pembaca bisa mengakses alat-alat yang dibutuhkan dalam mengukur posisi bintang-bintang dengan ketelitian yang cukup dan kemudian memetakannya. Setelah itu pembaca baru kemudian melakukan sintesis apakah bentuk spiral galaksi itu tunduk pada Golden Rasio ataukah Silver Rasio. Ini demi menjaga nama Euclid jangan sampai ditindis oleh nama si penemu Silver Rasio tersebut, hehe.

Ok, kita kembali ke judul tulisan ini.

Jika pembaca benar-benar memahami maksud paragraf-paragraf sebelumnya, maka tulisannya saya cukupkan sampai di sini.

Tapi okelah, kita teruskan saja dalam membedah apakah benar-benar ada hubungan antara Euclid dan Kota Mekkah, atau lebih tepatnya apakah ada hubungan antara Golden Rasio dengan lokasi Ka’bah sebagai arah sujud umat Islam.

Pada banyak artikel di internet sudah disebutkan bahwa konon lokasi Ka’bah itu berada pada Golden Rasio jika dihubungkan dengan posisi kutub utara dan kutub selatan bumi.  Sebenarnya ini bisa dengan mudah dibantah oleh tulisan saya sebelumnya  bahwa posisi kota-kota di permukaan bumi itu tidak tetap, akan tetapi dinamis sepanjang tahun. Hal ini dikarenakan pergeseran lempeng bumi akibat pengaruh gaya tektonik. Yang dikatakan kecepatannya sekitar 2 cm per tahun.

Namun dalam tulisan kali ini saya menambah sanggahan-sanggahan terhadap asumsi-asumsi tersebut dengan hanya menggunakan pemahaman dasar fisika. Saya menggunakan substansi yang diberikan pada artikel di sebuah halaman web. Di halaman tersebut dikatakan bahwa memang kota Mekkah hampir mendekati lokasi Golden Rasio Euclid tersebut, namun tidak persis. Lokasi Kota Mekkah berada pada lintang (analog dengan lokasi pada sumbu y) 21 derajat, 25 menit dan 38.56 detik. Sementara lokasi Golden Rasio Euclid (dengan mengambil 15 digit belakang koma) untuk permukaan bumi berada pada lintang 21 derajat, 14 menit, dan 46.02 detik. Jika dibandingkan antara keduanya ternyata terdapat eror sekitar 0.1 persen. Eror ini menandakan bahwa posisi Kota Mekkah bukannya berada tepat pada Golden Rasio Euclid tadi, tapi berada sekitar 20 kilometer ke arah utara.

Itu baru lintang, belum bujurnya. Posisi pada bidang datar tidak bisa diwakilkan oleh satu angka saja, minimal dua angka (karena ternyata permukaan bumi tidak sepenuhnya bisa dikatakan bidang datar). Jika kita hanya mengambil posisi lintangnya saja, maka ada banyak kota di permukaan bumi yang berada pada  lintang Golden Rasio (atau mendekati lintang Golden Rasio). Harus ada posisi pada garis bujurnya (analog koordinat x pada bidang datar).

Dan ternyata  untuk  menentukan acuan Golden Rasio garis bujur ini tidak sesederhana garis lintang yang udah jelas-jelas berpatokan pada kutub permukaan bumi. It’s a matter convinience. Itu tergantung Anda mau nentuin titik nol nya di mana. Nah, kalo sudah begini maka tulisan saya yang berbaris-baris ini hanya non-sense aja, hahaha…

Jadi intinya adalah mau Anda ngatain Mekkah berada pada Golden Rasio, Paris berada pada Silver Rasio, atau New York berada pada Diamond Rasio, dll itu hak Anda sepenuhnya. Yang saya minta hanya satu, jangan lupakan konsep dasar yang biasa digunakan dalam pengukuran, antara lain KTPR (ketidakpastian relatif), NST (nilai skala terkecil), AB (angka berarti), dll.

Tuesday, August 4, 2015

Hubungan Antara Allah dengan Nomor Atom Besi

Apakah benar alam semesta ini ciptaan Tuhan adalah perdebatan yang tidak ada habisnya. Namun kita hanya bisa melakukan analisa tanpa bisa melakukan  verifikasi lebih jauh. Dalam diskusi mengenai ada atau tidaknya Tuhan ini, saya pernah menjumpai sebuah perdebatan antara muslim dan atheis. Si muslim kemudian mengajukan fakta bahwa ternyata nomor atom besi  jumlahnya sama dengan jumlah kata Allah di dalam Al-Quran. Ini kemudian dijadikan bukti bahwa tidak mungkin seorang badui di padang pasir arab mengadakan bualan semacam ini. Pasti ada the man behind the scene.

Bahasan mengenai mukjizat saintifik dalam Al-Quran pada banyak kasus tidak lebih dari sekedar kajian yang absurd. Hal yang mendasarinya adalah Al-Quran itu bukan kitab sains. Untuk membahas Al-Quran terlebih dahulu kita harus tahu sejarah dibalik penurunan Al-Quran. Kita tidak bisa secara apriori mengatakan bahwa semua “hal-hal aneh” yang terjadi selama penurunan Al-Quran adalah omong kosong (misalnya dengan menganggapnya sebagai bualan Ibnu Ishaq, Ibnu Haytam, Al-Tabari dll) lantaran adanya fakta-fakta sains yang kita temukan. Para ahli sejarah Islam sudah melakukan pengkajian secara komprehensif mengenai kejadian-kejadian yang melatarbelakangi penurunan Al-Quran (beberapa dari mereka adalah orang yang hafal seluruh isi Al-Quran). Hal yang paling maksimal yang bisa kita lakukan hanya sebatas mempelajari peninggalan mereka tersebut dan berprasangka baik terhadap mereka. 

Salah seorang muslim berkata bahwa Al-Quran memaparkan secara detail peristiwa Big Bang: bahwa bumi dan langit pada awalnya bersatu sebelum kemudian dipisahkan. Big Bang sendiri adalah salah satu model yang diajukan ilmuan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Sementara model hanya bisa bekerja berdasarkan ada atau tidaknya data penunjang. Bisa jadi di kemudian hari diperoleh data-data lain (semisal bencana ultraviolet kedua) yang kemudian merontokkan atau mengkoreksi pemahaman fisis kita saat ini (termasuk model Big Bang tersebut). Sehingga alih-alih Big-Bang, dicari lah model baru dalam menjelaskan asal-usul alam semesta. Dan kemudian ayat Big-Bang itu direinterpretasi kembali dan menghasilkan makna lain dari yang kita imani saat ini.
Secara teologi kita sudah diajarkan, bahwa yang paling tahu tentang isi Al-Quran itu hanya Allah dan Nabi Muhammad. Dan berdasarkan Hadits yang diriwayatkan ke kita, tidak pernah sekalipun Al-Quran itu membahas persoalan Big Bang. Justru pada ayat yang lain, malah Al-Quran mengatakan bahwa antara langit dan bumi itu terdapat tiang-tiang penopang (mudah-mudahan ilmuan muslim masa depan bisa menjelaskan maksud ayat ini). Dan pada ayat yang lain dikatakan lagi bahwa  matahari berputar mengelilingi bumi yang kemudian diperkuat oleh penafsiran Nabi Muhammad mengenai alam semesta (bahwa matahari terbit di timur dan tenggelam di barat kemudian berjalan di bawah tanah untuk kembali lagi ke timur) yang dicatat oleh Shahih Bukhari dan diriwayatkan kepada kita. Nabi Muhammad sama sekali tidak pernah menyinggung soal Big Bang, namun anehnya  kita bisa berbicara sampai sejauh itu mengenai makna ayat-ayat tersebut.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah kenapa angka 26 itu mesti dikaitkan dengan nomor atom besi? Nomor atom besi itu menandakan jumlah proton yang berada di dalam inti atom besi. Sementara proton (seperti halnya pada kasus Big Bang) merupakan satu dari sekian model yang diajukan para ilmuan untuk menjelaskan materi besi (dan kebetulan untuk saat ini itulah cara yang paling “benar”).  Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa tidak atom besi sebagai sebuah kesatuan saja yang kita hubung-hubungkan dengan angka tersebut (bahwa materi besi tersusun oleh individu-individu atom besi)?

Kita tidak pernah melihat proton. Kita menyimpulkan bahwa besi disusun oleh proton lantaran ketika dilakukan sebuah eksperimen tertentu terhadap materi, terjadi sebuah fenomena tertentu yang teramati.  Fenomena ini kemudian ditafsirkan dengan membuat model yang mengatakan bahwa di dalam atom besi terdapat sebuah inti atom dan inti atom ini tersusun oleh partikel bermuatan positif bernama proton. Kita tidak pernah  melihat proton baik dengan mata fisis kita atau dengan mata batin kita. Karena ternyata mata kita juga disusun oleh proton (mana mungkin proton melihat proton…, bukannya itu sama saja dengan jeruk minum jeruk?).

Kemudian proton juga disusun oleh quark yakni dua top-quark dan satu down-quark, jadi total ada tiga. 3 x 26 = 78, lha… sudah ga sama dong dengan jumlah kata Allah di dalam surat tersebut. Kemudian besi sendiri memiliki beberapa isotop. Setahu saya ada 4 isotop besi di alam. Pertanyaanya adalah besi yang dimaksud di dalam Al-Quran ini isotop yang mana? Tolong pembaca yang paham bahasa arab bisa ga’ diterjemahkan bahwa “sebutan besi” di dalam Al-Quran itu merujuk pada isotop yang mana?

Besi itu unsur yang relatif reaktif yang sering dijumpai dalam bentuk Allotrof. Yang jadi pertanyaan besar untuk para sejarawan adalah apakah besi yang digunakan oleh masyarakat arab jaman Nabi Muhammad untuk membuat pedang, belanga dan berbagai macam keperluan  itu besi murni (dengan nama kimia Fe) atau jangan-jangan besi dengan sekian persen pengotor? Kalo dia mengandung pengotor (dan itu yang dicantumkan di dalam Al-Quran) tentu saja pekerjaan kita dalam menghubungkannya dengan angka 26 ini sangat absurd. Ketika terdapat pengotor, secara umum rumus kimianya sudah berbeda (jumlah proton penyusunnya sudah lebih dari 26).

Saya pernah melihat di internet beberapa pusaka peninggalan Nabi Muhammad, antara lain pedang beliau dan sampai saat ini masih bagus (belum berkarat). Jika demikian halnya maka itu sudah pasti bukan besi. Karena besi unsur yang reaktif. Bisa jadi besi yang dimaksud oleh Al-Quran ini adalah baja. Jika demikian tentu lain ceritanya. Karena baja  adalah gabungan antara besi yang ditambahkan karbon sekian persen untuk menambah kekuatannya. Dan  itu rumus kimianya berbeda dengan besi murni (demikian pula jumlah proton di dalamnya yang juga bukan 26). Itupun kita harus cari tahu apakah “sebutan besi” di dalam Al-Quran ini merujuk pada baja atau bukan.

Bahasa arab (juga bahasa Indonesia) sangat terbatas dalam mendeksripsikan materi yang ada di alam. Jika kita analogikan dengan air (H2O) yang tersusun oleh atom oksigen (O) dan atom hidrogen (H), apakah itu membuat kita mencocok-cocokan timbulnya kata air di dalam Al-Quran dengan jumlah nomor atom oksigen atau atau jumlah proton di dalam atom hidrogen? Bahkan sebutan kasar dalam bahasa Arab terhadap oksigen paling tinggi hanya sebatas udara (angin). Dan kita tahu udara merupakan campuran dari berbagai macam unsur selain oksigen: udara mengandung sekian persen oksigen, sekian persen hidrogen, dan sekian persen uap air.

Hal lain yang sering dikumandangkan oleh para pemikir muslim mengenai keajaiban Al-Quran adalah  jumlah kata laut (tentunya dalam bahasa arab) itu ada 32 dan kata tanah (juga dalam bahasa arab) itu ada 13. Jika dibandingkan kedua bilangan tersebut nilainya hampir sama dengan perbandingan daratan  dan lautan dewasa ini. Kata ‘tanah’ ini tentu perlu diperjelas apakah yang dimaksud adalah bumi (yang tersusun atas 7 lapis seperti yang disinggung oleh ayat yang lain) atau cuma daratan saja. Pembaca tentu lebih tahu struktur bahasa arab. Sebab jika kata tanah ini mengacu pada bumi maka rasionya sudah pasti tidak sama. Air itu hanya menyumbang sekian persen dari volume bumi. Jika yang dimaksud adalah daratan, itu pun perlu diperdebatkan lebih jauh.

Dalam geologi dikenal yang namanya gejala tektonik berupa pergeseran lempeng bumi. Akibat dari gejala ini maka  permukaan bumi mengalami perubahan sepanjang tahun. Akibatnya benua Australia dan Asia yang dulunya menyatu sekarang menjadi terpisah. Tentu rasio daratan dan lautan tidak tetap  sepanjang masa: daerah yang dulunya lautan berubah menjadi daratan demikian pula sebaliknya. Yang jadi pertanyaan adalah apakah rasio yang dimaksud oleh Al-Quran ini adalah rasionya ketika Al-Quran diturunkan, atau rasionya ketika ribuan tahun yang lalu saat sebagian besar permukaan bumi ditutupi oleh permukaan es pada zaman es. Pada zaman es tentu saja rasionya  tidak 30:70, akan tetapi ada sebagian besar daratan yang terbentuk lantaran adanya es. Dan bisa jadi ribuan tahun akan datang zaman es kembali terulang dan rasio daratan terhadap lautan menjadi lebih besar dari  30:70. Demikian pula dataran mengalami penaikan serta penurunan akibat gaya tektonik. Terbentuklah lembah, danau, gunung, palung, dll.

topografi antartika

Pada saat ini pun rasio 30:70 masih diperdebatkan. Pertama, sebagian besar daratan (‘tanah’ jika meminjam terminologi Al-Quran) benua Antartika itu berada di bawah permukaan laut. Ketebalan es di Antartika rata-rata mencapai 2 kilometer. Dengan mengingat bahwa es pada hakikatnya adalah air. Air tentu saja bukan daratan (pembaca bisa cari di google apa bahasa yang digunakan bangsa Arab pada zaman Nabi Muhammad untuk menyebut es). Jika terjadi pencairan besar-besaran es di Antartika (oleh satu dan lain faktor), maka rasio 30:70 ini bakal berkurang karena benua Antartika luasnya berkurang. Adapun benua-benua lainnya di permukaan bumi luasnya juga berkurang karena naiknya permukaan laut, sehingga rasio daratan terhadap lautan juga akan berkurang secara signifikan dari 30:70 tersebut. Akibatnya adalah “mukjizat” tersebut menjadi tidak valid lagi.

jumlah air di permukaan bumi

Ketika 5000 tahun dari sekarang di mana manusia sudah menciptakan peradaban baru. Mereka kemudian menemukan artifak-artifak kuno mengenai keajaiban Al-Quran. Bisa jadi luas daratan pada saat itu sudah jauh berkurang karena naiknya air laut. Mereka akan tahu bahwa mukjizat Al-quran itu hanya ‘cocoklogi’.


(Disadur dari berbagai sumber di internet)

Monday, August 3, 2015

Filsafat Observasi

Sebagai ilmuan tentunya kita punya preferensi dan orientasi dalam meninjau persoalan. Tapi saya percaya bahwa kebenaran itu tidaklah mutlak. Teori hanyalah hampiran terhadap realita yang sesungguhnya. Dahulu kala, sebelum manusia mendaratkan kakinya di bulan, deskripsi alam semesta digambarkan sebagai tinjauan geosentris, bahkan mungkin lebih jauh dari itu: bumi adalah dataran yang rata di mana-mana, dan matahari terbit di timur dan terbenam di barat, kemudian benda-benda langit lainnya berputar mengelilingi bumi. Dan memang benar bahwa jika kita melihat dengan mata fisis kita akan dijumpai hal seperti itu bahwa matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Manusia kemudian mengajukan kritik terhadap model ini. Mereka mempertanyakan lintasan planet-planet yang tidak beraturan. Waktu itu para ahli astronomi sudah mengetahui bahwa selain bintang-bintang terdapat benda langit lain yang bergantungan di atas yang pergerakannya berbeda dengan bintang-bintang secara umum. Mereka namakan ini sebagai “planet” yang secara literal diterjemahkan sebagai pengembara. Berbeda dengan bintang-bintang lainnya yang relatif tetap di tempat sepanjang tahun, ternyata planet-planet ini memiliki lintasan yang tidak regular. Dan ini yang menjadi masalah di kepala para ilmuan.

Soal asal-usul bagaimana manusia mulai mengajukan pertanyaan mengenai benda-benda langit, khususnya benda-benda yang memiliki peran langsung bagi kehidupan sehari-hari bisa dilihat pada bagaimana para petani saat ini mengatur jadwal menanam padi yang disesuaikan dengan pola musim hujan dan musim kemarau sepanjang tahun. Para petani mengamati pergantian musim tahun demi tahun dan mengamati terdapat sebuah aturan yang mendasari pergantian tersebut. Kemudian para petani mencoba mengambil keuntungan dengan adanya pola keteraturan tersebut yakni dengan mengatur waktu penanaman padi sesuai dengan waktu mulainya pergantian musim misalnya mulai menanam ketika mulai musim kemarau demi menghindari gagal panen ketika tiba musim hujan. 

Hal ini kemudian diperluas ke kasus-kasus yang lain. Bahwa selain pergantian musim hujan dan musim kemarau terdapat pula pergerakan planet-planet yang memiliki jadwal tertentu. Bahwa pergerakan ini dipercaya memiliki dampak bagi nasib umat manusia. Tahun demi tahun manusia mengajukan hasil penelitian, mengajukan berbagai macam hasil observasi (pengamatan) serta model-model yang menjelaskan data-data observasi tersebut. Untuk kasus pergerakan planet tadi memang sejak semula banyak para pemikir yang mencoba mencari tahu keteraturannya. Salah seorang pemikir terkenal yang bernama Apollonius kemudian merumuskan sebuah model yang dikenal sebagai  Epicycle dan Defferent demi menjelaskan pergerakan planet tersebut. Dalam model ini terdapat  sebuah lingkaran besar yang kosentris dengan bumi yang disebut dengan deferrent. Kemudian terdapat lingkaran kecil yang mengorbit melalui lingkaran besar ini yang disebut sebagai epicycle. Planet-planet kemudian dikatakan bergerak pada epicycle tersebut. Teori ini kemudian berhasil menjelaskan pergerakan 5 planet yang diketahui pada saat itu. Namun apa yang dilakukan oleh teori ini hanya sebatas penjelasan secara kinematis. Jika kita mencermati data-data pengamatan planet-planet di angkasa maka akan terdapat 3 variabel utama yang bisa diukur yakni posisi, kecepatan, dan percepatan. Kecepatan dan posisi merupakan variabel kinematis. Sementara percepatan sudah ada sangkut pautnya dengan gaya sehingga disebut variabel dinamika. Percepatan inilah yang sulit dijelaskan dengan konsep geocentris, khususnya dengan menggunakan model epicycle.

Model selanjutnya yang digagas oleh para saintis adalah model heliosentris. Model ini awalnya juga mendapat banyak tantangan. Salah satu hal yang dipertanyakan adalah jika memang model ini benar, maka seharusnya  dijumpai parallax bintang oleh pengamat yang berada di bumi seiring dengan perubahan posisi pengamatan pengamat di bumi. Namun karena tidak adanya parallax bintang yang teramati, maka dapat disimpulkan bahwa bumi stasioner atau tidak mengalami pergerakan. Pada akhirnya di abad ke-18 ilmuan dapat mengukur parallax bintang kendatipun sangat kecil yang konsekwensinya adalah jarak antara bumi dan bintang-bintang tersebut sangatlah jauh. Sehingga ini makin menguatkan konsep heliosentris. Aplikasi dari konsep heliosentris ini kemudian yang digunakan oleh para ilmuan dalam mendaratkan pesawat ruang angkasa di Mars dan di bulan yang sama sekali sulit dilakukan jika menggunakan tinjauan geosentris. 

Konsep heliosentris kemudian disempurnakan oleh Johannes Kepler  dengan mengganti lintasan planet yang semula diasumsikan berbentuk lingkaran menjadi berbentuk elips di mana matahari berada pada salah satu titik fokus dari elips tersebut. Salah satu Hukum Kepler menyatakan bahwa ketika planet bergerak maka luas area yang disapu oleh garis yang menghubungkan antara planet dengan matahari sama besarnya untuk kurun waktu yang sama. Oleh Newton kemudian dilakukan penjelasan bahwa ini disebabkan oleh gaya gravitasi yang diberikan oleh matahari terhadap planet-planet tersebut. Dan pergerakan planet ini merupakan konsekwensi logis dari gaya gravitasi.

Thursday, September 11, 2014

S3 Akuntansi

Ada sebuah pepatah jaman kolonial yg yang sampe saat ini masih berlaku dan ternyata salah, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Benar, tanpa pendidikan kita akan dengan mudah dibodohi. Kita akan sulit mengenali hal-hal abstrak yang berkaitan dengan konsep benar-salah. Kita bagaikan katak dalam tempurung yang pikirannya hanya seputar persoalan “basic instinc.” Tapi yang terjadi sebenarnya adalah pendidikan diadakan oleh “penguasa” (meminjam kata “pemindahan kekuasaan” dalam isi teks proklamasi, bukan “pemindahan kepemimpinan” atau “pergantian pemerintahan”) ditujukan untuk mensuplai tenaga-tenaga terampil yang banyak dibutuhkan di lapangan-lapangan pekerjaan.


Anehnya, akhir-akhir ini entah kenapa penguasa yang dimaksud pada teks proklamasi itu telah begitu ketagihannya memperbanyak bangku-bangku “pendidikan” (baca: bangku sekolah, ingat pendidikan wajib itu hanya 9 tahun) tanpa memikirkan apa nanti yang terjadi ketika manusia-manusia yang disekolahkan itu pasca selesai dari persekolahannya. Terlalu banyak sekolah dan terlalu sedikit lapangan pekerjaan. Orang-orang masuk sekolah dengan tujuan setelah selesai dari sekolahnya mereka akan menjadi orang kantoran. Mereka meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan: bertani, bercocok tanam, mengukir, menyulam, memukat, memancing ikan, dan hal hal lainnya yang menjadi penyumbang pendapatan negara di luar sektor migas, lantaran pemerintah secara tidak sadar merusak mindset mereka dengan doktrin tidak langsung bahwa dengan sekolah manusia bisa cerdas. Karena sudah cerdas maka mereka sudah tidak pantas lagi mengerjakan pekerjaan orang-orang rendahan. Seperti kata seorang mantan presiden kita, B. J. Habibie yang katanya ingin menkonversi NKRI yang berbasis agraris ini menjadi negara industri. Saya mulai paham kenapa beliau berkata seperti itu. Orang-orang yang berlatar belakang fisika cenderung menilai segala sesuatunya berdasarkan konsep fisika. Orang-orang yang berlatar belakang insinyur ingin semua kurikulum diganti dengan hal-hal yang menunjang profesi keinsinyuran (agama dihapus, pendidikan Pancasila dihapus, dll dan hanya ada tutorial autoCAD). Orang-orang yang tadinya jualan meubel, ingin semua penduduk jadi pengrajin meubel, dan untuk itu harus dibuat subsidi bagi pengrajin meubel, padahal dia lupa dalam teori ekonomi, tingginya penawaran akan mengakibatkan harga barang menurun. Banyaknya handphone di pasaran, mengakibatkan harga handphone lebih rendah dari harga celana dalam, begitu juga dengan meubel tadi. Jadi perkataan pak Habibie itu tentu saja bisa kita sanggah. Sudah ada RRC yang jadi negara industrialis, sudah ada amerika yang jualan senjata. Kalo semua ikut-ikutan jualan senjata, maka yang beli senjata siapa. Singapura itu bisa kaya lantaran ada Indonesia yang jadi daerah pemasaran terdekatnya, di samping ukuran negara nya juga tidak begitu luas.

Semua orang-orang ingin jadi pengusaha lantaran terobsesi dengan biografi para pengusaha yang sukses, padahal nyatanya dalam piramida ekonomi, pengusaha itu berada pada puncak piramida. Mereka bisa punya banyak uang, tapi tidak boleh terlalu banyak orang-orang yang sejenis dengan mereka. Kalo Anda ingin jadi seorang pemilik bank swasta, maka Anda harus membuka jaringan bank di berbagai daerah. Nasabahnya tentu saja adalah para pengusaha yang lain. Mungkin penjual kain, penjual beras, penjual emas, atau penjual-penjual lainnya, tapi gak mungkin nasabahnya pemilik bank swasta juga. Penjual kain juga demikian. Walaupun Jusuf Kalla bisa kaya lantaran merintis karirnya dari berjualan kain, tidak lantas kita semua harus berjualan kain. Karena tidak mungkin kita berjualan kain pada penjual kain juga. Harus ada yang bertani, harus ada yang jadi nelayan. Dan nyatanya 80 persen penduduk Indonesia adalah petani dan nelayan. Indonesia bisa colaps kalo semua orang ingin membuka bank swasta. Saya ketika membaca biografi orang-orang seperti itu, pelajaran yang saya dapatkan adalah bukan lantaran bagaimana bisa kaya dengan berjualan kain atau membuka bank swasta, tetapi bahwa dalam hidup ini, agar bisa tetap hidup, kita harus bekerja, mencari uang, apapun pekerjaan kita.

Kembali ke persoalan sekolah tadi. Saya tidak sepakat bahwa pendidikan sampe perguruan tinggi adalah hak semua anak bangsa. Alasannya adalah pendidikan sampe perguruan tinggi itu sudah cukup elit di samping cukup mahal. Mahal dari segi biaya dan juga waktu. Bayangkan, kita kuliah sampe 5 tahun. Andaikan waktu 5 tahun kita gunakan untuk menjadi pengusaha dengan giat, sudah berapa keuntungan yang kita peroleh. Atau kalo kita jadi petani tentu sudah sangat banyak pohon-pohon berbuah yang kita tanam. Jika pemerintah berdalil bahwa semua orang berhak untuk jadi cerdas, lantas pertanyaan saya yang harus dijawab pemerintah adalah, kenapa tidak ada S3 akuntansi, kenapa tidak ada S3 kebidanan, kenapa tidak ada S3 penerbangan, kenapa tidak ada S3 pelayaran, dll bidang yang sama sekali tidak ada S3 nya. Ya, tanpa menunggu pemerintah menjawab, kita tentu sudah tahu jawabannya. Ngapain ngeluarin bayi lewat vagina mesti di S3-kan, ngapain nerbangin pesawat pake di S3-kan, ngapain ngitung debit-kredit mesti di S3-kan. Jadi pendidikan-pendidikan tinggi itu sama sekali tidak kita butuhkan. Untuk bisa cerdas, dan mengenal konsep benar salah, pendidikan SMA saya kira sudah cukup. Kita tidak perlu meniru Singapura yang memberi syarat semua warga negara adalah S1. Karena di Singapura semua lapangan pekerjaan memang mensyaratkan keterampilan S1, beda dengan Indonesia. Jadi ini sama sekali bukan mengenai persoalan siapa menaruh standar pendidikan paling tinggi, tetapi soal kebutuhan ekonomi. Kalo Anda ingin tahu seberapa kuat motif ekonomi dalam sejarah NKRI ini, saya sodorkan sebuah fakta sejarah. Anda tahu kenapa Amerika membisiki Soekarno agar menolak konsep R.I.S yang dicanangkan Belanda, itu lantaran dalam pembagian wilayah dalam konsep R.I.S itu, semua blok-blok minyak di Sumatra dikuasai oleh Belanda. Belanda udah tahu bagaimana mengolah minyak. Indonesia belum tahu. Jadi Amerika menyingkirkan Belanda dalam pengolahan minyak di Indonesia. Bahasa keren nya, Indonesia beralih dari penjajahan kasar (Hard Imperialism) menjadi penjajahan secara halus (Soft Imperialism).

Kalo dulu zaman kolonial, VOC melakukan tebang paksa ribuah pohon cengkeh di pulau Maluku, lantaran banyaknya stok cengkeh mengakibatkan harga cengkeh di pasaran dunia menurun yang mana merugikan, lantaran ongkos pengiriman cengkeh per-kilo melaui kapal-kapal tidak bisa tertutupi dengan harga penjualan. Bisakah penguasa saat ini menutup paksa sekolah-sekolah (baca: universitas) yang sama sekali tidak dibutuhkan tersebut. Mengingat banyaknya sekolah, mengakibatkan harga jual alumni sekolah menjadi turun. Dan terjadi inefisiensi yang mengakibatkan kerugian, lantaran “biaya produksi 1 alumni” itu sangat besar dan tidak bisa ditutupi oleh resultan gaji yang mereka dapatkan setelah menempuh dunia pekerjaan.

Pemerintah bisa menempuh cara lain, yakni dengan membatasi jumlah tampungan per tahun dari sekolah-sekolah tersebut, seperti yang sudah dilakukan selama ini. Mirip lah dengan formasi PNS yang hanya menyediakan sekian orang dalam formasinya. Apa salahnya pemerintah melakukan hal yang sama pada ranah pendidikan (sesuatu yang urgensinya lebih rendah ketimbang memperoleh pekerjaan). Tapi sudah terlalu banyak sekolah dan implementasi di lapangan bisa ribet (walaupun bisa kalo dipikirkan secara serius). Atau bisa juga pemerintah melakukan second fundamental doctrine (setelah Pancasila) yakni dengan memberi penekanan kewirausahaan pada peserta persekolahan. Bahwa kita sekolah bukan semata untuk mencari pekerjaan. Kita sekolah untuk menjadi pintar. Agar maju dalam IPTEK, agar bisa merubah tanah menjadi emas, gurun menjadi perkebunan (seperti di Israel), dll idealisasi. Walaupun kenyataannya ini sama sekali sulit dimengerti oleh orang-orang Indonesia (seperti hal nya tidak semua orang bisa memahami hakikat Pancasila). Orang-orang Indonesia (pada umumnya) sepertinya sudah termakan doktrin primordial bahwa kita disekolahkan agar menjadi orang kantoran, “terangkat”, menjadi orang besar, dll. Jadi satu-satunya cara yang paling realistis yang bisa ditempuh oleh pemerintah/penguasa adalah menutup sekolah-sekolah yang tidak dibutuhkan tersebut. Bukankah sekolah pilot saja sudah dibatas-batasi oleh pemerintah. Apa salahnya sekolah-sekolah lainnya juga.