Monday, November 30, 2015

Menelanjangi Novel Rindu Karya Tere Liye

Banyak orang yang mengatakan bahwa Tere Liye itu novelis berbakat yang karyanya laris manis di pasaran dan menuai pujian dari khalayak. Tapi saya akan menunjukkan kepada Anda bahwa itu semua tidak sepenuhnya benar. Menurut pendapat objektif saya Tere Liye itu novelis kacangan kalo tidak bisa dikatakan novelis asal-asalan. Salah satu novel miliknya yang saya baca baru-baru ini adalah Novel Rindu yang covernya bisa dilihat pada gambar. Beberapa keganjilan novel ini antara lain:

IMG_20151130_000412

1. Halaman 6 paragraf terakhir: “… pemimpin rombongan yang melihat kebingungan mereka, dengan bahasa setempat berseru menyuruh kuli agar menaikkan lagi barang bawaan. Kuli angkut dengan tubuh hitam berminyak karena terlalu sering dipanggang cahaya matahari menggaruk kasar kepalanya yang tidak gatal. Kepalang tanggung. Namanya juga kuli. mereka akhirnya tetap memilih menggotong barang-barang bawaan itu lima puluh meter menuju anak tangga kapal. Tersengal di belakang kereta kuda.” Kenapa kuli tersebut tidak menuruti saja perintah si pemilik barang tersebut yakni dengan menaikkannya kembali barangnya ke dalam kereta, malah ngotot memikulnya sejauh 50 meter. Apa susahnya menaikkan kembali barang-barangnnya ke dalam kereta kuda, dibandingkan memikulnya sejauh 50 meter? Lagian yang nyuruh menaikan kembali kan si pemilik barang, kok tiba-tiba seorang kuli berani membantah perintah tersebut. Ini kuli apa maling sih sebenarnya? Atau jangan-jangan polantas yang ngotot membawa (a.k.a menyita) motor dari pengemudinya? Lupa ga dia bahwa statusnya itu hanya sebatas kuli? Yah….. ini kan cuma novel…. karya Tere Lie.

2. Anak bungsu berumur 9 tahun yang dimunculkan pada halaman 7.  Anak ini mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga tentang keadaan di sekitarnya. Si bungsu tersebut was-was dengan tasnya yang dibawa oleh si kuli pikul tersebut. Masalahnya adalah  apa mungkin seorang anak berusia 9 tahun bisa sebegitu curiga dengan keadaan di sekitarnya? State of mind yang penuh kewaspadaan yang dimiliki oleh seorang anak berusia 9 tahun itu sepertinya terlalu dini. Anak-anak yang usianya 9 tahun sepertinya tidak mungkin untuk  memikirkan hal-hal abstrak semisal: “apakah tasnya nanti dicuri”, atau pertanyaan-pertanyaan yang aware terhadap keadaan di sekitar sepeti “apakah nanti gajian”,  atau “apakah nanti kalo saya lewat di bawah hujan bisa tersambar petir”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis. Secara umum biasanya anak 9 tahun itu pikirannya hanya diisi oleh hal-hal yang remeh temeh, semisal superman, spiderman, batman, kura-kura ninja, dan hal-hal seperti itu kecuali mungkin anak tersebut child prodigy (anak berbakat). Tidak ada kalimat eksplisit di novel ini yang menyebutkan bahwa anak tersebut child prodigy.

3. Tas berwarna biru. Bro… ini tahun  1938, apa ada ya… produsen tas yang membuat tas dengan warna biru pada waktu itu. Setahu saya jaman dulu itu orang-orang kalo bepergian (lihat novel  bertanya kerbau pada pedati karya A.A. Navis) bukan membawa tas tapi membawa peti kayu atau koper. Bisa juga tas tapi umumnya tasnya terbuat  dari kulit binatang. Tapi kalo soal tas berwarna biru, ini tas apa…? Tas Hermes gitu? Kalo ga salah penggunaan tas dengan motif warna warni itu dimulai tahun 60-an ke atas, dan paling mencolok jaman 80-an. Kalo jaman 1938 orang punya tas warna bitu, ga tau ya… jangan-jangan terinspirasi oleh bendera Belanda.

4. Pada halaman 9 Ibu dari dua gadis tersebut memerintahkan Anna buat merapikan kerudungnya, katanya biar ga masuk angin. Pertanyaannya adalah apa hubungannya antara masuk angin dengan memakai kerudung? Biasanya kalo untuk mencegah jangan sampai masuk angin itu orang suka pakai pakaian yang tebal, misalnya jaket. Tapi kalo soal adanya kearifan lokal masyarakat jaman dahulu yang mencegah terjadinya masuk angin dengan merapikan kerudung, saya ga tau ya…? Lagian ini kerudung, bukan burkah atau gamiz yang sedikit banyak punya pengaruh dalam mencegah masuk angin.

5. Tokoh Daeng Andipati yang dimunculkan di halaman 10. Apa bisa ya.. orang Bugis tahun 1938 punya  nama Daeng Andipati? Benar ada kata ‘Andi’-nya. Masalahnya adalah ini nama agak berbau jawa. Apalagi dia punya pembantu bernama Bi Ijah, sepertinya terlalu janggal. Jaman dulu belum ada kegiatan eksport import babu antara jawa dan luar jawa sementara nama Ijah ini sangat janggal untuk disebut sebagai orang Bugis. Coba Anda perhatikan nama-nama orang Bugis yang terkenal: Mallarangeng, Kalla, Matalatta, Matalitti, Aru Pallaka dll, di mana selalu ada tasydid di situ.

6. Halaman 13 Meneer Houten mengacak rambut  si bungsu. Hellowww….. ini tahun 1938 bro… Sepertinya ga sopan kalo seorang laki-laki ‘menjambak’  rambut wanita yang bukan muhrim. Kendatipun dia masih berumur 9 tahun. Sepertinya seorang Tere Liye mencoba memaksakan adat istiadat Jawa-Jakarta abad 21 ke dalam setting cerita awal abad 20 di Makassar. Di Makassar itu (setidaknya jaman dahulu) orang ngelamar aja pake mahal, menyentuh berarti membeli hehehe...

7. Halaman 15, ini sebenarnya si kakek sedang menggunting atau sedang mencukur? Atau sedang mencukur plus mnggunting? Biar amannya kita anggap aja si kakek sedang mencukur. Dan apa iya jaman dulu tukang cukur rambut mesti buka  salon? Biasanya jaman dahulu tukang cukur itu mangkal aja di pinggir jalan kayak tukang tempel ban, atau kalo tidak dipanggil ke rumah-rumah pelanggan buat mencukur. Dan yang paling parah disebutkan di sepanjang jalan berjejer toko-toko dengan panjang 8 meter dan lebar 3 meter. Bro ini toko atau WC sih sebenarnya, kok lebarnya cuma tiga meter. Bagaimana bisa bangunan dengan lebar cuma 3 meter bisa menentukan style arsitekturnya? Coba pembaca sekalian pergi menyewa kosan di kawasan perkumuhan, apa ga sempit tuh kalo lebarnya cuma 3 meter? Naruh meja aja udah sulit, boro-boro nentuin model atap kayak gimana, biar disebut bangunan dengan arsitektur gaya Belanda.

8. Tokoh Ahmad Karaeng pada halaman 18. Sepertinya Tere Liye terkesan asal-asalan dalam  mencari nama buat orang Bugis jaman dulu. Kemudian pada paragraf kedua dari terakhir: “… Gurutta masih terbilang keturunan Raja Gowa yang pertama memeluk Islam, Sultan Alauddin. Dalam darahnya mengalir darah raja paling terkenal di Sulawesi, Sultan Hasanuddin---yang adalah cucu Sultan Alauddin. Gurutta juga masih kerabat dari Syek Yusuf, ulama besar yang dibuang Belanda ke Sri Lanka….” Menurut saya ini penuturan yang mubasir. Semua orang juga sudah tau kalo Sultan Hasanuddin itu cucu dari Sultan Alauddin. Dan yang lucu adalah Syekh Yusuf ini tidak berada pada generasi yang sama dengan Sultan Hasanuddin akan tetapi berada pada generasi sebelumnya. Syekh Yusuf ini ada pada masa pemberontakan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Dan jika Gurutta ini masih keturunan dari Sultan Hasanuddin-—katakanlah turunannya yang ke-5, adalah pembahasaan yang kurang tepat kalo dia dikatakan sebagai kerabat dari Syekh Yusuf. Si X dan si Y dikatakan kerabat adalah jika keduanya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan. Jika si X dan si Y terpisah jarak 300 tahun, saya rasa itu kurang tepat kalo mereka dikatakan sebagai kerabat. Sepertinya Tere Liye mencoba memaksakan fakta-fakta sejarah tersebut biar bisa hadir di novel nya ini. Dan mengingat Syekh Yusuf dan Sultan Hasanuddin merupakan pahlawan Nasional di NKRI yang masuk dalam buku-buku sejarah dalam kurikulum buatan Kemendiknas, maka itu hal yang tidak perlu untuk membahasnya secara detail dalam sebuah novel.

9. Halaman 35, 36, 37 dan 38 Gurutta ke Mekkah naik kapal selama 6 bulan hanya membawa satu biji tas? Dan isi-isinya ternyata hanya buku-buku. Terus Gurutta selama di kapal makan pake gratis gitu? Ga ganti pakaian? Dan emang jaman dahulu sudah ada tindakan terorisme (a.k.a. bom bali) sampe kitab kuning aja pake dicurigai. Dan ternyata kecurigaan ini dimotivasi oleh pemberontakan Syekh Yusuf yang terjadi 300 tahun sebelumnya. Ternyata Tere Liye begitu terobsesi dengan cerita-cerita sejarah, khususnya sejarah Bugis-Makassar. Padahal faktanya jaman pergerakan nasional itu dimulai di jawa, di mana pada saat yang sama di Makassar adem-adem aja. Masa-masa awal abad 20 itu di Makassar penduduk setempat cukup kooperatif dengan pemerintah kolonial. Benteng Somboupu yang cukup terkenal itu sudah diratakan dengan tanah.

10. Halaman 52, kapal buatan Belanda yang difasilitasi oleh Mesjid di atas kapal (musholla kali ya..?). Tolong Tere Liye membaca kembali sejarah pemberangkatan jemaah haji Indonesia di masa-masa kolonial. Setahu saya tidak ada jaman dahulu orang berangkat naik haji tidak menggunakan kapal khusus, apalagi sampai dibuatkan mesjid di dalamnya.

11. Ungkapan ‘sepelemparan batu’ pada halaman 59 sepertinya tidak perlu deh.

12. Halaman 94, teori mengenai perubahan hormon yang dialami oleh Ibu yang sedang hamil sepertinya belum dijumpai dalam kurikulum kedokteran pada tahun 1938 (atau kurang).

13. Jus jeruk pada halaman 121. Apa iya tahun 1938 sudah ada jus jeruk? Iya, mungkin jus sudah ada, tapi bukan barang yang mudah dijumpai apalagi tinggal diminta pada koki kapal? Pada waktu itu belum ada blender untuk membuat jus. Saya belum punya referensi yang jelas tentang sejarah pembuatan jus, yang jelas agak janggal kalo tahun 1938 itu di kapal-kapal itu minuman jeruk bisa diminta dengan mudah.

14. Halaman 129. Peristiwa pergolakan kemerdekaan itu belum terjadi di tahun 1938. Tahun-tahun di sekitar 1938 itu adalah tahun ketika kerajaan Belanda masih berkuasa penuh atas pulau jawa. Baru setelah Jepang menginjakkan kaki ke Indonesia dan kemudian membentuk badan kemiliteran semisal Heiho dan PETA maka pemuda-pemuda Indonesia mulai mengenali teknologi-teknologi perang pada masa itu. Dan perjuangan kemerdekaan itu dimulai ketika Jepang meyerah pada sekutu dan pemuda-pemuda Indonesia mulai melucuti senjata milik Jepang (dengan sukarela atau terpaksa) untuk dipakai melawan kembalinya Belanda. Tahun 1938 itu adalah tahun di mana bangsa Indonesia belum memiliki apa-apa  yang dibutuhkan untuk memberontak. Dan perjuangan dengan mengggunakan senjata-senjata tradisional sudah terbukti gagal pada masa-masa sebelumnya. Lagian di tahun 1938 VOC sudah dibubarkan jadi yang memegang kendali pemerintahan di Indonesia pada waktu itu langsung Kerajaan Belanda, sehingga tindakan yang diambil terhadap penduduk pribumi tidak se-represif ketika masa-masa VOC---perang Diponegoro, perang Sultan Hasanuddin, perang Pattimura, dll itu terjadi pada masa VOC. Buat Tere Liye, Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah…

15. Paragraf kedua dari terakhir halaman 157, “…Salah satu pelaut Jepang yang kutemui di Singapura bercerita, Kekaisaran Jepang sedang menyiapkan propaganda Jepang adalah saudara tua seluruh Asia. Membungkus penyerangan mereka dengan propaganda, berharap rakyat negara-negara Asia bersedia mendukung sukarela.” Bagaimana mungkin seorang pelaut Jepang dengan blak-blakannya membongkar ‘rahasia perusahaan’-nya sendiri kepada pihak luar. Sekali lagi seorang Tere Liye lupa membedakan antara sebuah novel dengan pelajaran sejarah khas kurikulum Kemendiknas.

16. Halaman 163 paragraf kedua. Ambu Uleng berlari-lari di atas kapal karena memendam rasa yang tidak enak. Kok si pelaut yang punya otot itam kekar bisa berkelakuan seperti banci yang sedang sakit hati?

17. Halaman 171, paragraf ke tiga, “Anna dan Elsa hanya mendengarkan seluruh detail itu dari penjelasan Bapak Mangoenkoesoemo…” Seolah-olah dikatakan bahwa penjelasan di paragraf kedua dalam halaman tersebut merupakan penuturan Bapak Mangoenkoesoemo mengenai Kota Semarang padahal tidak ada tanda ‘petik dua’ di situ sebagai penanda dialog. Apa yang saya tangkap adalah paragraf kedua di halaman tersebut merupakan kalimat narasi, bukan kalimat dialog. Tere Liye nampaknya lupa dengan tata cara penulisan novel yang sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemudian si Bapak Mangoenkoesoemo yang sudah satu setengah jam mengajar masih sempat-sempat nya naik  ke atas dek kapal untuk menjelaskan tentang latar belakang Kota Semarang ke Elsa dan Anna, apa ga capek gitu?

18. Halaman 198, paragraf ketiga: “…Inilah kota paling besar di seluruh Nusantara. Pusat perdagangan dan kantor Gubernur Jenderal Hindia. Besok atau lusa, kota ini akan menjadi pusat pemerintahan bangsa kita, bangsa yang merdeka. Mungkin orang tua sepertiku tidak sempat melihatnya tapi kalian akan menyaksikannya… ”  Seolah Gurutta begitu yakin atau lebih tepatnya punya ‘penerawangan’ ke depan bahwa nanti Indonesia (atau lebih tepatnya Nusantara) akan merdeka. Padahal di sekitar tahun 1945 Soekarno saja ragu bahwa Indonesia itu akan merdeka: dia masih sempat membungkukkan badan menyembah matahari untuk menjilat Jepang, serta menolak untuk memproklamirkan kemerdekaan sebelumnya akhirnya diculik dalam peristiwa Rengasdengklok. Sekali lagi Tere Liye lupa membedakan antara sebuah novel dengan pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berbasis kurikulum Kemendiknas.

19. Halaman 12, Benteng Fort Rotterdam sudah tidak digunakan lagi  sebagai basis operasional bagi pemerintah Belanda di tahun 1937 (lihat wikipedia).

20. Halaman 204, kayaknya si Tere Liye sangat terpukau dengan figur pelawak bolot sehingga memaksakan memasukkan karakter beliau ke dalam tokoh Mbah Kakung. Mbah Kakung pura-pura tuli dan kemudian mengakui ketuliannya tersebut di halaman berikutnya. Benar-benar Bolot…

21. Halaman 208, paragraf kedua dari terakhir, “Mbah Kakung Slamet sejenak menoleh. Menatap wajah Mbah Putri di sebelahnya. Itu tatapan penuh kasih sayang. Beberapa penumpang menelan ludah menyaksikannya. Ibu Anna menyeka ujung mata, ikut terharu.” Buat apa orang-orang menelan ludah hanya karena menyaksikan kakek dan nenek berusia 80 tahun saling memandang? Apanya yang bikin ngiler? Kemudian yang satu ngiler sementara yang satunya lagi menahan haru. Kesannya nuansa yang tercipta  tidak konsisten: tidak seragam rasa yang ditimbulkan antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam dalam merespon kejadian yang sama.

22. Halaman 215. “… Orang-orang berlalu lalang dengan pakian khas zaman itu. Mestinya Tere Liye mendeskripsikan corak berpakaian khas “zaman itu” itu yang seperti apa? Kalo memang dia ga tau gimana cara berpakaian tahun 1938, ngapain dia buat novel dengan tema tahun 1938.

23. Halaman 219 paragraf kedua dari terakhir. Ga juga ketemu teman lama main bongkar kartu sampai segitunya.

24. Halaman 223, “Daeng Andipati tidak berhasil menemukan guru baru. Bukan karena waktunya terlalu mepet, melainkan ada kejadian kecil tapi serius di dek kapal,…”. Ini nyari guru mengaji di atas kapal tahun 38 kok hampir mirip dengan datangin penceramah kondang di jaman sekarang, sampai pake alasan “waktunya mepet” segala, hehe.

25. Halaman 224. Tahun 1938 itu belum ada sistem pasport ama visa, Anda boleh kemana aja tanpa perlu membawa dokumen imigrasi.

26. Halaman 224 paragraf kedua dari terakhir, Anna mengeluarkan suara puh pelan. Kok mirip ya.. dengan status facebook ABG jaman sekarang, fuuuuhhh… padahal ini tahun 38.

27. Halaman 256. Kalo Anda liat di peta Indonesia, akan nampak bahwa pegunungan Bukit Barisan itu tidak  menyentuh Bandar Lampung (atau Teluk Lampung). Jadi akan tidak mungkin terlihat dari pesisir pantai di seputaran Bandar Lampung adanya pemandangan Bukit Barisan. Lain halnya kalo yang dimaksud oleh  Tere Liye ini Teluk Semangka itu mungkin masih kelihatan Bukit Barisan nya.

28. Halaman 295, Tere Liye menggambarkan proses melahirkan Mbah Putri yang berlangsung secara independent. Ga tau di Sumatera Barat atau di Jawa, yang jelas di mana-mana itu baik jaman dulu maupun sekarang orang melahirkan selalu ada yang bantuin, entah dia dukun, bidan, atau dokter. Saya jadi teringat film tahun 80-an yang dibintangi oleh Barry Prima di mana ada orang melahirkan di samping kali dan anaknya langsung dikasi makan ama buaya, mungkin Tere Liye mendapat inspirasi dari situ. 

29. Kalimat atas nama kemanusiaan halaman 302. Ini tahun 38 bro…

30. Halaman 303. Paragraf ketiga dari terakhir, bicara aja harus pake tenaga?

31. Halaman 304. Paragraf ketiga: “ Bunda Upe diam sebentar. Menyeka hidung dengan ujung baju.” Sepertinya Tere Liye penggemar Iwan Fals, especially lagu Azan Subuh Masih di Telinga. Ya… ga harus pake ujung baju mungkin kalo ngelap ingus, pake lenso kek, sapu tangan kek, handuk kek. Kayak anak kecil aja ingus dilap pake ujung baju. Lagian ngapain cuma cerita seperti itu dibawa nangis? Anda bayangin aja gimana ibu-ibu pas ngegosip, cerita-cerita pengalaman pahit, dan sejenisnya. Ga juga sampe nyeka ingus pake ujung baju.

33. Halaman 337. Kata minggir berasal dari bahasa jawa. bukan bahasa melayu.

34. Halaman 346 paragraf ke-lima Ujaran “Eh” (yang juga dijumpai pada halaman 328 paragraf terakhir) tidak pernah digunakan dalam dialog berbahasa Indonesia. Seharusnya kalimatnya adalah “… Kosong, tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Ya?…. Mungkin Tere Liye keseringan nonton film Naruto atau film-film barat yang biasanya dipasangin substitle di mana ujaran ”Eh” itu kalo di-Bahasa-Indonesiakan setara dengan ujaran “Ah”.

35. Halaman 367-376. Sebenarnya itu plot yang terlalu dipaksakan kalo Daeng Andipati harus buka-bukaan tentang rahasia keluarganya hanya lantaran sebuah insiden kecil. Bukankah sejak kecil dia sudah biasa bersandiwara? Kejadian ketika dia datang dengan manis ke pemakaman ayahnya, jadi ternodai lantaran gara-gara sebuah upaya pembunuhan dia kemudian membuka sandiwaranya tersebut. Dan merupakan sebuah kejanggalan jika seorang tokoh yang dikenal sangat licik dan bejat di masyarakat (punya banyak tukang pukul dan jadi rentenir), sekaligus bisa menjadi tokoh yang dikagumi (banyak yang datang ke upacara pemakamannya).
Persis seperti kejadian Mbah Kakung yang dipaksakan menjadi Bolot, sekali lagi Tere Liye gagal dalam membentuk karakter dari tokoh yang dimunculkannya dalam novel ini.  

36. Frase “Rombongan Kesultanan Ternate” yang sering muncul di banyak halaman bisa ga dibahasakan dengan bahasa yang lebih deskriptif dan penuh warna a’la sebuah novel?

37. Halaman 465 paragraf terakhir, Kapal Blitar Holland dikatakan Transit sebentar di Aden. Yang jadi pertanyaan besar adalah yang transit ini kapalnya atau penumpangnya? Kalo kapalnya yang transit, transit ke mana, ke kapal lain (kapal di dalam kapal) atau ke apa? Kalo penumpangnya yang transit, bukankah dari pertama dikakatakan cuma ada satu kapal?

38. Halaman 485, bagaimana bisa seorang pelaut ulung membiarkan sebuah ombak memukul lambung kapal? Kecuali Anda baru pertama belajar menjalankan kapal, Anda pasti akan tahu agar kapal tidak terbalik maka harus dijalankan sejajar datangnya ombak. Kalopun pada akhirnya kapal terbalik, maka kemungkinannya ada dua, ombaknya terlalu besar/tinggi sehingga ketika selesai melewati ombak kapal oleng dan terjungkir (seperti yang terdapat di film Wolf of Wallstreet) atau kapalnya memang pada saat itu kemasukan banyak air  karena terlalu berlama-lama terjebak di dalam badai sehingga pada akhirnya oleng dan tenggelam. 

Satu-satuya kasus ketika kapal dipukul oleh ombak dan terbalik hanya pada kasus kapal kecil dan sang pengemudi tidak tahu bagaimana membaca situasi datangnya angin/ombak.

39. Halaman 486, Titanic nih ye….

40. Halaman 520. Sebenarnya di tahun-tahun 1938 itu belum ada yang namanya perompak di perairan Somalia. Ketika terjadi perang Sipil di Somalia di tahun 1991 negara Somalia sama sekali bisa dikatakan “tanah tidak bertuan”. Dan baru sekitar tahun 2005 ke atas, Somalia mulai dihuni oleh perompak dan bajak laut.

41. Halaman 522, dialog penuh “canda” antara bajak laut dan korban itu dalam kenyataannya sama sekali tidak ada. Kalo kapal Anda dibajak, maka Anda akan diperlakukan bak tahanan/sandera: disuruh tiarap, tangan diborgol, dibentak, disuruh ini itu dan lain-lain. Mungkin alam bawah sadar Tere Liye sedikit terpengaruh oleh tayangan berulang-ulang dari Pirates of Carribean yang sering muncul di RCTI.

42. Halaman 534, ini Serangan Umum Satu Maret ya…?

No comments: