Saturday, October 11, 2014

Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan dokumen yang bisa dipercaya, sekitar 400 triliun dana APBN Indonesia berasal dari pajak pertambahan nilai yakni pajak yang dibebankan terhadap barang yang diperjualbelikan antara produsen dan konsumen.  Seorang pengusaha ketika membuat suatu barang yang layak jual, dia tentu sudah memperhitungkan berapa target keuntungan yang ingin dicapai. Misalnya jika sebuah perusahaan pasta gigi ingin menyasar keuntungan Rp. 200 per pasta gigi, tentu saja ketika pasta giginya dibuat dengan ongkos produksi sebesar Rp. 500, harga jualnya akan menjadi Rp. 700.

Masalah terjadi ketika pemerintah membebani PPN sebesar minimal 10 persen ke pengusaha atas barang yang dijual. Jadi ketika harganya dijual sebesar Rp. 700, tentu keuntungan yang diperoleh si pengusaha bukannya Rp. 200 melainkan Rp. 130. Sementara pengusaha adalah objek yang tidak mau rugi. Apapun yang terjadi, dia tetap menyasar keuntungan yang Rp. 200 tadi. Jadi dia naikkan dulu harganya menjadi Rp. 778. Dengan demikian ketika dipotong 10  persen jadinya Rp. 700. Antara Rp. 778 dan Rp. 700 itu terdapat selisih Rp. 78 yang tentu saja dibebankan kepada konsumen.

Akibatnya harga barang lebih mahal dari seharusnya. Konsumen harus mencari penghasilan tambahan untuk membeli pasta gigi.

Ada teman yang berkata bahwa itu hak pengusaha untuk menjual barangnya setinggi apa. Kan kita punya pilihan untuk membeli atau tidak. Masalahnya adalah dalam sistem ekonomi kapitalis, tidak ada perjanjian yang sepenuhnya suka rela. Semua didasarkan oleh ikatan-ikatan penuh intrik. Dalam pembuatan pasta gigi bisa jadi si produsen sudah membuat perjanjian “win-win” tertentu dengan distributor agar tidak mengedarkan pasta gigi merek apapun selain punya mereka. Akibatnya terjadi monopoli pasar. Kalo terjadi monopoli pasar, maka si produsen akan dengan leluasa menarik keuntungan sebesar yang dia mau. Dan konsumen yang tercekik.

Ada sebuah film yang menarik yang pernah saya nonton yang secara implisit  mengkritik kebobrokan kapitalisme dan monopoli. Yakni bagaimana penduduk yang sudah direkayasa genetik, harus tercekik dalam mencari sesuap nasi agar hidupnya terus berlangsung.

No comments: