Showing posts with label gempa sulteng. Show all posts
Showing posts with label gempa sulteng. Show all posts

Sunday, October 21, 2018

Hubungan Antara Gempa Palu, Sigi dan Donggala dengan Perilaku Seks Menyimpang Warga Setempat

Berdasarkan teori fisika gempa bumi di sebabkan adanya patahan di mana volume batuan dalam skala besar mengalami diskontinuitas. Akibat diskontinuitas ini antara volume batuan tadi terbagi menjadi dua buah pelat tektonik yang mengalami gerak relatif satu sama lain dengan arah berlawanan. Gerak antara dua buah bidang permukaan mengakibatkan dua kemungkinan yakni ada gesekan atau tidak. Pada pelat tektonik, adanya gesekan lama kelamaan mengakibatkan pergerakan lanjutan dari dua buah pelat terhambat atau terkunci. Namun karena ada desakan terus menerus maka hambatan tadi akan terlepas dan ini yang menghasilkan pelepasan energi dalam skala besar yang termanifestasi ke dalam wujud gempa bumi. Hal ini bisa dianalogikan dengan kasus ketika kita mendorong meja di lantai yang licin, tentu mejanya akan terdorong dengan mudah. Namun bagaimana jika di lantai tadi tiba tiba dipasang polisi tidur, tentu kita akan terhambat mendorongnya. Dan kita perlu energi tambahan untuk mendorongnya, sehingga begitu polisi tidurnya terlewati maka mejanya meluncur dengan cepat.


Jika pusat (hiposenter) dari gempa berada di bawah permukaan laut, maka energi gempa tadi akan memindahkan atau menggeser sebagian dari dasar laut (seabed), yang berakibat volume air di atasnya akan berpindah juga dan inilah yang menjadi pemicu sunami. Sementara pada daratan, gempa di samping meluluhlantahkan bangunan yang ada, terdapat pula fenomena lain yakni likuifaksi di mana tanah yang semula keras berubah sifatnya menjadi cair. Pada kasus gempa Palu, justru bencana likuifaksi ini yang paling banyak memakan korban. Hipotesis yang beredar bahwa di daerah yang mengalami likuifaksi ini yakni kelurahan Petobo dan Balaroa terdapat tingkat kejenuhan yang tinggi pada lapisan tanah karena terlalu banyak menampung air sehingga ketika terjadi gempa goyangan pada lapisan tanah mengakibatkan kantong-kantong air dalam tanah tadi bercampur baur dengan tanah di sekitarnya sehingga membentuk lumpur. Misalnya saja di daerah Petobo di mana awal mula likuifaksi terletak pada saluran irigasi yang berada di hulu dan seterusnya hingga ke bawah sampai ke jalan Dewi Sartika. Jadi rembesan air yang mengalir di irigasi tadi memenuhi lapisan bawah dari tanah di Petobo sehingga membuatnya tidak stabil dan rentan likuifaksi atau longsor. Hal ini kemudian diperparah oleh topografi lembah palu sendiri yang membentuk lereng. Mulai dari muara sungai Palu di jembatan empat yang roboh itu hingga ke hulu di daerah kulawi semuanya berawal dari kaki pegunungan dan menurun hingga ke pinggir sungai jadi tidak sepenuhnya dataran rendah. Sementara daerah Balaroa tepat berada di kaki gunung Gawalise di mana tingkat kemiringan kawasan ini boleh dibilang cukup tinggi. Beberapa daerah lainnya misalnya di desa Jono Oge juga terdapat fenomena serupa bahkan di desa ini justru area yang mengalami likuifaksi lebih luas dibandingkan dengan dua area sebelumnya kendatipun jumlah korban jiwa yang ditimbulkan tidak begitu besar.


Sampai saat ini proses evakuasi terhadap korban terus dilangsungkan, kendatipun berdasarkan SOP dari BNPB, proses evakuasi hanya dilangsungkan maksimal dua minggu dengan perhitungan bahwa lebih dari jangka waktu tersebut korban yang tertimbun sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Selanjutnya berdasarkan keputusan para pihak yang berkepentingan, kedua kawasan ini yakni Balaroa dan Petobo nantinya akan dijadikan monumen likuifaksi yang mirip monumen sunami SPBU apung di Aceh. Tentu ini sebuah ironi mengingat situasi Petobo dan Balaroa yang berada di tengah kota yang pasti berbeda dengan situasi perkampungan terpencil di lereng pegunungan misalnya, yang akan sangat aneh jika dibiarkan masih berupa gundukan tanah yang menampung korban-korban bencana likuifaksi. Bukankah lebih baik dan lebih terhormat jika mayat-mayat para korban tersebut dievakuasi dulu kemudian tanah-tanah yang menjadi gundukan yang bercampur dengan rumah-rumah dipindahkan ke luar kota. Tentu ini akan memakan biaya yang tidak sedikit mengingat posisi Palu sendiri hanya merupakan sebuah ibukota provinsi kecil di Indonesia. Tapi jika dibandingkan dengan biaya yang dihabiskan dalam proyek abadi perbaikan longsor jalur kebun kopi yang menghubungkan Tawaili dan Toboli yang sejak saya masih kecil hingga saat ini tidak ada habisnya, tentu proses evakuasi sampai tuntas terhadap korban likuifaksi Petobo-Balaroa bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Posisi Balaroa sendiri tidak jauh dari Pasar Impres, yang merupakan pasar sentral terbesar di Sulawesi Tengah. Bagaimana ini akan menjadi daya tarik wisatawan sementara tidak jauh dari lokasi ini terdapat timbunan mayat dengan berbagai posisi akibat mati konyol tertimbun tanah. Apakah para pencicip kuliner di Pasar Inpres tidak akan mencium aroma angker hantu-hantu bergentayangan yang minta diperlakukan secara wajar. Bagaimana para turis bisa menikmati pemandangan di inpres jika ada saja suara-suara halus di telinga mereka, atau bahkan adanya orang-orang kesurupan akibat kerasukan roh-roh para korban bencana likuifaksi yang ingin diperlakukan secara adil. Jika kita bandingkan situasi di Balaroa pasti tidak akan berbeda dengan situasi pada monumen kekejaman Pol pot di vietnam, di mana kendatipun di situ sering didatangi wisatawan, namun kesan yang didapatkan jauh dari kesan keceriaan layaknya situs-situs wisata pada umumnya. Petobo sendiri merupakan daerah yang sekarang ini, sebelum bencana likuifaksi, sedang gencar-gencarnya diadakan pembangunan perumahan penduduk skala besar. Dan kawasan ini langsung terhubung dengan kawasan perumahan di Lasoani. Ada begitu banyak proyek perumahan yang sedang dibangun di sekitar kawasan ini. Hal yang pertama yang harus dibenahi adalah bagaimana menghubungkan kembali Jalan lingkar lasoani-petobo seperti sedia kala. Untuk itu timbunan tanah yang berada di sepanjang jalan H. M. Soeharto harus di bersihkan demikian pula gundukan tanah yang bercampur reruntuhan perumahan beserta mayat-mayat yang terkandung di dalamnya.


Dalam menanggapi bencana tersebut, beberapa kalangan banyak mengaitkan penyebabnya dari aspek non-fisis. Tepat pada hari terjadinya bencana tersebut sempat diadakan pembukaan festival tahunan Palu Nomoni yang dalam penyelenggaraannya dimasukkan beberapa ritual-ritual yang dianggap bernuansa syirik atau pagan. Dalam bahasa setempat ritual ini disebut balia, di mana sajian berupa makanan tradisional dan kepala binatang di letakkan di pinggir pantai dan dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap penguasa laut setempat. Sekilas ritual ini mirip ritual tabot di Bengkulu, namun berbeda dari segi tujuan penyelenggaraannya, di mana acara Tabot sendiri merupakan ritual yang diadakan untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad Husein bin Ali di Karbala. Ritual balia murni merupakan ritual sisa-sisa kebudayaan animisme yang dihidupkan kembali demi menggiatkan bisnis pariwisata di kota Palu. Jadi dengan adanya festival ini maka akan disedot jumlah pengunjung tahunan di kota Palu yang tentu akan berdampak positif bagi perekonomian di kota ini. Namun karena adanya provokasi dari oknum-oknum tertentu khususnya ormas-ormas Islam semisal Jamaah Tabligh dan HTI maka semua pihak ikut-ikutan mengkambing hitamkan ritual gagasan Wakil Walikota Palu Sigit Purnomo Said (lebih dikenal sebagai Pasha Ungu) sebagai sumber datangnya bencana.

Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa bencana ini dikibatkan oleh perilaku amoral masyarakat setempat yang sudah sangat memprihatinkan. Konon kelurahan Petobo yang terkena dampak likuifaksi merupakan pusat perjudian di Kota Palu di mana para penjudi yang datang ke sana berasal dari berbagai daerah di Sulawesi bahkan ada yang berasal dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Di sini biasa diadakan festival sabung ayam atau lomba karapan sapi. Kendatipun kedua acara ini sifatnya hiburan semata tentu tidak akan lepas dari adanya unsur taruhan (judi) yang pasti dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di situ. Dan jika judi sudah begitu marak maka bentuk kemaksiatan lain akan serta merta hadir di tempat itu. Misalnya penjualan minuman keras akan sangat mudah ditanyakan ke warga setempat. Di Petobo bahkan terdapat beberapa bisnis prostitusi yang berkedok sebagai panti pijat yang menawarkan jasa seks dengan beragam tarif.

Beberapa sumber mengatakan bahwa pergaulan bebas di kota Palu juga bukan hal yang tabu lagi. Para pelajar dan Mahasiswa di kota ini sudah sebegitu permisifnya dalam melakukan hubungan seksual. Hal ini bisa dengan mudah dibuktikan dengan mendatangi kos-kosan yang tersebar di berbagai tempat di Kota Palu, misalnya yang berada di Jalan Kancil, Anoa I, atau di kawasan R. E Martadinata Tondo. Perilaku seks pelajar dan mahasiswa sudah bukan lagi sebatas hubungan sepasang kekasih yang menjalin ikatan tanpa hubungan nikah, namun sudah mulai menjurus pada tindakan seks ekstrim misalnya pesta seks (orgy), pertukaran pasangan (swinger), dua lawan satu (threesome), menggilir wanita (gang bang), atau seks yang disertai dengan pesta sabu-sabu. Menurut pendapat warga, bukan hal yang sulit untuk mengajak kencan wanita di Kota Palu. Khususnya wanita suku Bugis yang dikenal sangat permisif dan berlibido tinggi. Yang kita perlukan hanyalah sebuah akun media sosial, sikap ramah dan pandai merayu, disertai dengan status sosial yang tidak memalukan. Minimal kita mempunyai kendaraan pribadi dan cukup uang untuk mengajak si wanitanya jalan, maka kita sudah bisa mendapatkan teman tidur atau bahkan pacar untuk berbulan-bulan yang bisa diajak berhubungan seksual setiap malam. Dan wanita di Kota Palu khususnya wanita suku Bugis (menyumbang 30 persen populasi kota Palu) bukanlah wanita yang mau diikat. Kendatipun sudah ditiduri, tidak lantas mereka mengejar-ngejar laki-laki untuk menuntut dijadikan isteri, mereka malahan mencari laki-laki lain hingga mereka mendapatkan laki-laki yang bisa memuaskan nafsu birahi mereka. Dan untuk ini, wanita suku Bugis rela memberikan apa saja baik itu uang dan harta bagi si laki-laki.

Seks di Kota Palu bukan hal yang mahal jika kita begitu jeli dalam mencari si wanitanya. Memang kawasan pelacuran di sini sudah ada yakni dikenal sebagai Tondo kiri, dan itu butuh tarif yang menguras kantong untuk sekali kencan. Namun pusat pelacuran ini hanya ditujukan bagi para pencari wisata seks. Tentu tidak ada orang yang tiap hari datang ke pelacuran, kecuali memang germo atau tukang pukul yang biasa mangkal di situ, karena pasti akan menghabiskan uang. Pada hakikatnya wanita-wanita bugis itu adalah wanita yang begitu murahannya bahkan terhadap orang yang baru dikenalnya. Hal ini mungkin dikarenakan faktor adat suku bugis sendiri yang konon biasa terlibat ritual pesugihan (disebut sebagai mattiro deceng). Orang-orang di Sulawesi semua tahu kalau suku bugis itu mempunyai uang yang banyak yang tercermin dari bangunan rumah yang mereka miliki. Jika penduduk setempat hanya berumah gubuk dengan atap rumbia, maka suku Bugis umumnya berumah beton dengan lantai sampai empat tingkat. Sementara pendapatan mereka sehari-hari hanya berdagang dengan pendapatan tidak seberapa karena pembeli juga jarang. Tentu ritual pesugihan bukan ritual main-main, karena kita sudah berurusan dengan alam non-material yang melibatkan kekuatan supranatural. Biasanya ada tumbal yang harus diserahkan dan ini adalah anak kandung kita sendiri. Pembaca bisa tanya ke suku Bugis, dan mereka pasti bercerita tentang adanya anak kandungnya yang sudah wafat. Logikanya ketimbang anak tadi mati diserahkan pada penguasa kegelapan, bukankah masih lebih manusiawi jika kita setubuhi sendiri? Dan dari sinilah kebejatannya berasal. Hampir pasti bahwa jika anda mendapati wanita suku Bugis yang cantik dan suka mentraktir anda makan, percayalah bahwa Ia sudah disetubuhi ayah kandungnya sendiri. Dan jika demikian bukan hal yang sulit untuk mengajak si wanita tadi untuk berhubungan seksual, mengingat seorang ayah yang menjadi panutan itu pula yang merenggut kehormatan. Dan si wanita tersebut sudah berfungsi sebagai pelacur keluarga, yang digilir oleh ayah kandung, kakak atau adik laki-laki, saudara-saudara sepupu, teman-teman di kampus atau siapapun yang disenanginya. Dan pembaca bisa membuktikan pernyataan ini jika lama tinggal di Sulawesi misalnya di Makassar, Palu, Kendari, atau kota-kota lainnya sampai kemudian mendapatkan jodoh baik itu pacar ataupun istri di sini dari suku Bugis.

Melamar gadis Bugis itu sama saja membeli kucing dalam karung. Anda harus pikir-pikir dulu karena pasti anda akan kecewa nantinya. Bisa dipastikan sebagaian besar wanita suku Bugis itu adalah wanita yang sudah kehilangan keperawanannya sejak dini. Kalopun anda dengan terpaksa melamarnya dengan biaya yang mahal, karena semua juga tahu melamar suku Bugis itu pasti butuh biaya mahal, Anda jangan marah dulu jika nanti istri yang didapatkan sudah tidak perawan ting-ting. Karena pasti ada kompensasi yang diberikan oleh pihak keluarga si wanita. Misalnya Anda juga bisa bersetubuh dengan mertua perempuan atau ipar perempuan Anda kalau mau. Dan sudah menjadi rahasia umum jika dalam sebuah keluarga Bugis itu pesta seks atau orgi itu adalah hal yang rutin diadakan. Di mana seorang suami, istri, ipar dan suaminya, ayah dan ibu mertua telanjang bareng untuk memuaskan nafsu birahi mereka dari malam sampai pagi.

Jika beruntung sebenarnya lebih bagus memacari wanita Bugis ketimbang menjadikan istri. Karena wanita itu sebenarnya tidak butuh dinikahi untuk disetubuhi. Mereka juga butuh kepuasan. Dan bagi si wanitanya, buat apa memperumit suatu tindakan yang justru menguntungkan bagi diri kita? Tapi umumnya karena adanya benturan budaya timur yang masih melekat di masyarakat setempat dan adanya pengawasan dari instansi tertentu atau ormas keagamaan, maka biasanya si wanita tidak begitu saja mau diajak berhubungan seksual. Sebagian dari mereka menuntut untuk dijadikan isteri, karena malu dengan teman yang juga banyak sudah menikah atau tidak enak saja dicap sebagai wanita tidak baik sementara mereka punya kedudukan tertentu di masyarakat. Jadi praktik seks bebas ini hanya menjadi rahasia umum yakni semua juga mempraktekannya namun tidak menyatakannya secara terbuka, hanya membatasi informasinya pada kalangan terdekat. Dan hal ini sudah berlangsung turun temurun sejak jaman kerajaan Gowa-Tallo pimpinan Sultan Hasanuddin. Jika pembaca pernah membaca buku sejarah kerajaan Makassar, pasti pernah mendengar sosok Syekh Yusuf Tuanta Salamaka yang harus lari ke Jawa bahkan dibuang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat perilaku amoral di keraton kerajaan Makassar yang suka pesta seks dan miras yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang dipahaminya. Jadi wanita suku Bugis akan memberikan apapun untuk laki-laki yang disenangi sepanjang laki-laki itu bisa memuaskan hasrat seksualnya. Berbeda dengan wanita dari suku Jawa misalnya yang lebih memilih sendiri atau menjadi pelacur ketimbang terikat dengan laki-laki yang perangainya tidak baik, karena mereka berpikir bahwa semua laki-laki juga butuh seks. Dan di era sosial media seperti sekarang ini perlahan tapi pasti tabir yang selama ini ditutup-tutupi mulai terkuak. Pembaca bisa memeriksa sendiri dengan berkelana di jejaring sosial bahwa wanita suku Bugis itu berlibido tinggi dan sangat mudah untuk diajak berhubungan seksual. Tidak peduli itu dosen di perguruan tinggi ternama atau mahasiswa cerdas dengan IPK tinggi, wanita suku Bugis itu tak kalah murahannya dengan cewek cabe-cabean yang bekerja yang sebagai pemulung di pinggir sungai yang kotor.

Di kota palu perilaku Suku Bugis yang permisif dan suka menyetubuhi anak kandung sendiri ini ternyata ditularkan ke penduduk setempat. Dan hal inilah yang menjadi biang kerok kerusakan moral di Kota Palu. Perkiraan kasar saya bahwa 70 persen wanita di Kota Palu adalah wanita yang pernah berhubungan seksual secara inces baik itu dengan ayah kandungnya sendiri ataupun saudara kandungnya, baik itu kakak atau adik. Termasuk yang terjadi di kawasan Balaroa atau Petobo. Berdasarkan data yang bisa dipercaya penduduk kelurahan Balaroa mayoritas adalah suku Bugis, yang sebagian bekerja sebagai pedagang kain dan tekstil di Pasar Inpres Manonda. Dan jika praktek inces jadi merebak di kawasan itu, bukankah hal yang masuk akal untuk mendeduksi bahwa bencana likuifaksi yang tidak terprediksi ini merupakan murka dari Tuhan yang sudah kehilangan kesabaran melihat perilaku bejat masyarakat setempat?

Saya berharap kedepannya bencana yang maha dahsyat ini tidak terulang lagi. Kendatipun semua pakar sudah memaklumi bahwa bencana likuifaksi rentan terjadi mengingat tekstur tanah dan topografi Kota Palu sendiri yang berpotensi untuk itu. Namun hal-hal lain semisal runtuhnya bangunan atau sunami bisa ditanggulangi dengan memperbaiki prasarana yang ada, misalnya dengan memenuhi syarat bangunan tahan gempa dan dengan menyediakan sensor peringatan sunami di sekitar pantai. Jadi dengan adanya pembenahan infrastruktur mestinya juga harus dibarengi dengan pembenahan moral dari masyarakat setempat. Sehingga kita berharap alam dapat bersahabat baik dengan kita. Wallahu A’lam Bishawab.