Showing posts with label politik. Show all posts
Showing posts with label politik. Show all posts

Saturday, December 16, 2017

Kawan Dekat Soekarno dan Nasibnya

Berbicara tentang Soekarno maka hal yang pertama terpikirkan oleh kita adalah karisma beliau sebagai pendiri bangsa. Dalam sejarah telah kita ketahui bahwa Indonesia merdeka di tahun 1945 dengan dibacakannya teks Proklamasi oleh Soekarno dan Mohammad Hatta dan kemerdekaan ini diperoleh setelah melewati proses yang panjang.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak darah yang ditumpahkan hingga tercapai kemerdekaan ini. Pahlawan-pahlawan mati tanpa pernah melihat hasil jerih payahnya. Dalam pikiran mereka hanya terbersit satu semboyan, yakni merdeka atau mati. Namun Soekarno sendiri menyadari seperti yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Sarinah, bahwa kemerdekaan itu tidak mungkin dicapai tanpa melibatkan arus yang berkembang dalam dunia Internasional.

Kemerdekaan Indonesia ini sesungguhnya dimulai oleh gerakan liberalisme yang menyebar di dataran Eropa begitu pecahnya revolusi Perancis. Dan trend liberalisme ini kemudian memberikan sebuah angin segar bagi Indonesia karena Belanda kemudian memberikan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyetarakan diri dalam sebuah tatanan  negara demokrasi pada waktu itu misalnya dengan keikutsertaan putra pribumi ke dalam Volksraad atau izin membentuk partai atau organisasi yang bercorak nasionalisme.

Hal ini kemudian terakumulasi dengan pecahnya perang dunia ke II. Belanda harus angkat kaki dari Indonesia karena Jepang datang dengan bala tentaranya bersamaan dengan serangan NAZI Jerman ke jantung ibukota Belanda. Jepang kemudian memberikan pelatihan pelatihan dasar bagi pemuda-pemuda Indonesia dalam bidang militer. Memang sebelumnya beberapa pemuda-pemuda Indonesia sudah diajak bergabung ke dalam tentara kerajaan Belanda (KNIL), namun mereka ini banyakan bukan dari bagian mayoritas penduduk Indonesia yang mengalami ketertindasan, tetapi merupakan bagian dari status quo yang sudah saling terikat lahir batin dengan kerajaan Belanda. Jadi mustahil mereka menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Belanda dalam memegang senapan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.

Berbeda halnya dengan datangnya tentara Jepang.  Jepang mengajarkan semangat patriotisme. Bahwa bangsa Asia setara dan tidak pantas dijadikan alas sepatu bangsa Eropa. Dan inipun kemudian memicu beberapa pemberontakan di Indonesia misalnya pemberontakan Suprijadi di Blitar. Sehingga ketika pada akhirnya Jepang kalah perang dan harus meninggalkan Indonesia, kedatangan Belanda sudah tidak lagi disambut hangat seperti sebelumnya. Orang-orang semacam Soeharto dan Kamaruddin yang berasal dari latar belakang petani sudah ditanamkan oleh  Jepang benih kebencian, sehingga senjata  di tangan mereka yang ketika bersama KNIL digunakan untuk menumpas perlawanan Cut Nyak Dien di Aceh kemudian pada masa kedatangan kembali Belanda digunakan untuk menentang Belanda. Dan pecahlah beberapa pertempuran yang mewarnai berbagai pelosok di Nusantara.

Tetapi kendatipun pertempuran yang dilakukan para pemuda Indonesia ini banyak memakan korban jiwa, namun sebenarnya bukanlah pertempuran yang seimbang. Belanda masih begitu dominan dan ini bisa dilihat pada Agresi militer Belanda I dan II di mana bahkan Presiden Soekarno Dan Hatta harus ditahan oleh Belanda. Pertempuran 10 November di kota pahlawan Surabaya hanya memberikan hasil nihil bagi progress kemerdekaan. Setelah bertempur selama seminggu dan digempur habis-habisan di laut, darat, dan udara pemuda-pemuda Indonesia yang dicap teroris itu harus keluar dari Surabaya. Demikian pula Palagan Ambarawa yang memberikan kisah pembantaian yang pahit, karena mustahil lah kita bisa memukul senjata mesin dengan bambu runcing dalam skenario peperangan bagaimanapun juga.

Faktor penentu kemerdekaan Indonesia sebenarnya adalah faktor diplomasi dan trend kemerdekaan itu sendiri. Sekarang ini saja kita tahu bahwa tidak satupun negara di dunia ini yang masih berada di dalam penjajahan. Semua negara bisa dikatakan sudah merdeka. Malaysia saja bisa merdeka tanpa melalui proses yang berdarah-darah demikian pula India dengan Gandhi nya. Faktor penentu kemerdekaan Indonesia sebenarnya adalah lobi-lobi politik yang dilakukan oleh Mohammad Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, dkk bukan perjuangan Jenderal Soedirman yang masuk hutan naik gunung turun gunung bak anak Pramuka.  Tapi ternyata di kemudian hari justru orang-orang penentu kemerdekaan inilah yang bernasib sial karena tidak memperoleh perlakuan yang layak oleh penguasa pada waktu itu yang dalam hal ini  Presiden Soekarno.

Bagaimana seorang Syahrir yang berjasa melobi PBB ketika terjadi Agresi Militer Belanda yang pertama yang kemudian melahirkan perjanjian Roem-Royen harus bernasib tragis karena menjadi tahanan tanpa diadili. Keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI tercium oleh Soekarno dan membubarkan partai Syahrir yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI). Penjara yang dingin kemudian menguras kesehatannya sehingga ketika tiga tahun berada dalam penjara Syahrir kemudian harus berobat ke Swiss karena Stroke.  Kawan dekatnya di PSI Sugondo Joyopuspito mengantarkannya ke Bandara Kemayoran dan Syahrir hanya bisa menatapnya dengan penuh air mata.  Tidak ada jalan yang dinamakan dengan Syahrir, layaknya MH Thamrin di Jakarta, sangat bertentangan dengan jasa  Syahrir yang sangat menentukan dalam lobi lobi politik  di PBB.

Orang kedua yang juga jadi penentu bagi kemerdekaan Indonesia adalah  Amir Syarifuddin. Dialah perdana menteri Indonesia yang kedua. Beliau berperan sebagai utusan Indonesia dalam perjanjian Renville. Semasa pendudukan Jepang pun beliau ini kerap merasakan dinginnya penjara karena dituduh terlalu progressif dengan ideologi kirinya. Namun nasib beliau ini juga sama tidak beruntungnya dengan Syahrir. Keterlibatannya dalam pemberontakan PKI di Madiun harus membuatnya bernasib tragis karena ditembak mati tanpa diadili  oleh seorang serdadu TNI berpangkat kopral.

DN Aidit merupakan orang penting yang ketiga. Dia merupakan "anak kesayangan" Soekarno. Sempat digadang-gadang menjadi presiden berikutnya namun karena adanya intrik di belakang layar yang mungkin sudah diketahui sebelumnya oleh Soekarno membuatnya bernasib sial. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa  G30S-PKI merupakan peristiwa yang harus kita kutuk karena memakan banyak korban orang-orang yang berjasa bagi tanah air. Namun yang masih menyisakan pertanyaan di kepala banyak orang adalah mengapa  DN Aidit yang sudah di puncak popularitasnya pada waktu itu harus melakukan blunder sejarah. Mengapa beliau terlalu gegabah untuk mengambil tindakan penculikan tersebut. Apakah gerakan G30S itu merupakan ide beliau sendiri? Faktanya seorang Untung yang tidak lain merupakan perwira menengah  TNI merupakan eksekutor utama peristiwa tersebut. Dan entah bagaimana detail hubungan antara Untung dan DN Aidit yang jelas peristiwa tersebut di mata Soekarno hanyalah percikan buih di tengah lautan.  Untung dan Aidit harus bernasib tragis di ujung peluru eksekutor. Bedanya adalah jika Untung harus diadili terlebih dahulu yang sangat kontras dengan perannya sebagai eksekutor lapangan, namun Aidit didor begitu saja dan dijatuhkan di sumur tua padahal beliau hanya efek samping dari carut marutnya perpolitikan di tanah air pada saat itu. Hingga saat ini jasad Aidit belum ditemukan. Tragisnya peristiwa ini merupakan akhir bagi kekuasaan Presiden Soekarno, tidak seperti apa yang diramalkannya dalam wawancara eksklusif dengan wartawan Cindy Adam.

Orang keempat Adalah Mohammad Hatta.  Berbeda dengan Untung atau Syahrir, nasib beliau ini tidak begitu tragis kendatipun tidak bisa dikatakan mujur. Seperti yang disinggung oleh lagu Iwan Fals hujan air mata dari pelosok negeri.... saat melepas engkau pergi....berjuta kepala tertunduk haru...terlintas nama seorang sahabat... yang tak lepas dari namamu (terbayang gestur bang Iwan yang ogah-ogahan membawakan lagu ini) beliau ini adalah proklamator kedua. Padanyalah negara Indonesia ini dilandaskan, bukan pada Kamarudin atau Jendral Soedirman yang masuk hutan naik turun gunung. Namun yang menjadi soal adalah ketika memasuki fase demokrasi terpimpin, ketidaksukaannya dengan Soekarno dalam menindak pemberontakan PRRI dan kemudian berubahnya haluan politik Indonesia yang cenderung kekiri-kirian membuat beliau kemudian mengundurkan diri dari kursi wakil presiden. Sebagian besar akhir hidupnya dihabiskan di rumah bak pesakitan karena tidak terlibat lagi dalam aktifitas politik apapun.

Orang keempat adalah Alex Kawilarang. Beliau ini adalah bapak pendiri Kopasus. Punya banyak jasa dalam pergerakan kemerdekaan dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan separatis di tanah air. Sulawesi tidak akan aman tanpa jasa beliau ini, karena orang-orang semisal Andi Azis dan Kahar Muzakkar yang tidak puas dengan bentuk negara Indonesia harus bertekuk lutuk di kaki beliau. Namun yang jadi masalah adalah karena perseteruannya dengan letnan kolonel Soeharto yang kelak jadi presiden dan lebih dekat dengan Soekarno akhirnya mengantarkan nasib beliau ini ke ambang kepailitan. Tipikalnya yang senang dengan lapangan militer membuatnya frustasi ketika harus dimutasi ke Amerika menjadi duta besar. Ini kemudian dilampiaskannya ketika terjadi peristiwa pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Beliau kemudian membacakan proklamasi tandingan untuk negara yang hanya sebatas Sulawesi Utara. Akan tetapi karena kurangnya populasi di Sulawesi Utara pada waktu itu yang berimbas dengan sedikitnya jumlah tentara yang dimilikinya membuat nasib beliau ini tragis tidak seperti rekannya letkol Soeharto. Beliau kemudian hanya bisa menghabiskan sisa hidupnya sebagai pesakitan tanpa bisa berbuat apapun untuk kemajuan bangsanya karena semua usaha-usaha yang dilakukannya untuk mendapatkan secuil imbalan atas jasa-jasanya harus diboikot oleh Soeharto.

Orang terkahir dalam daftar ini mungkin Syafruddin Prawiranegara. Mungkin ini bisa dibilang adalah Presiden Indonesia yang kedua setelah Soekarno dan sebelum Soeharto. Beliau memimpin negara Indonesia pada masa pemerintahan darurat yakni ketika Soekarno ditahan oleh Belanda dalam agresi militer I. Keterlibatannya dalam peristiwa PRRI membuatnya dikucilkan dari dunia politik. Beliau menghabiskan masa tuanya sebagai pendakwah karena dilarang terlibat perpolitikan oleh Soekarno. Dan sampai saat inipun kita sama sekali tidak pernah diberi penekanan bahwa beliau ini merupakan Presiden Indonesia yang kedua..




Wednesday, March 9, 2016

Masa depan Israel

Menyatukan arab dan yahudi dalam dua buah negara yang damai tanpa saling mengganggu itu ibarat menyatukan minyak dengan air, suatu hal yang mustahil di mata negara Israel. Anda jadi Arab dan berpaham syiah, itu sangat mudah bagi Anda kehilangan nyawa jika tetangga Anda adalah penganut Wahabi, gimana halnya jika Anda seorang Yahudi? Maka dengan demikian Israel menganggap terdapat wilayah minimum yang dibutuhkan agar mereka mampu menopang keamanan warga yang berdiam di dalamnya, itulah yang sedang diperjuangkan saat ini: single jewish state across palestinian border. Israel harus menempuh cara-cara kotor demi menjamin kemaslahatan dan eksistensi mereka sebagai negara bagi bangsa Yahudi.

Ya, biar mudahnya yahudi cabut saja dari Israel, karena di kiri kanannya adalah tanah arab, dan sudah beberapa generasi Palestina itu memang wilayahnya orang arab. Namun sebuah keganjilan jika bangsa yang sudah berusia ribuan tahun ini tidak punya negara sendiri, sementara jika mereka berdiam di negara yang dikuasai oleh bangsa lain, hal yang mereka dapati adalah penindasan dan pembantaian. Di mana lagi Yahudi harus mendirikan negaranya kalau bukan di daerah yang menjadi lahan historis bagi keberadaan mereka: tanah yang dijanjikan Tuhan.

Defenisi Tuhan di sini pun tidak bisa kita pahami sebagai single entity yang menciptakan alam semesta, Tuhan yang kita maksud adalah Yahweh yakni Tuhan nya orang yahudi. Yahudi  merupakan sebuah bangsa yang mengimani agama tertentu. Dan dalam penafsiran kontemporer terhadap Taurat yang dipaparkan di Misnah, Yahudi tetap disebut sebagai yahudi kendatipun mereka tidak lagi mengimani Yahweh (Tuhan yahudi ini) karena status keyahudian ini diperoleh melalui garis ibu (matrilineal). Jadi seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai yahudi sudah seharusnya bisa melacak status keyahudian mereka hingga jauh ke beberapa generasi sebelumnya. Jadi tidak mungkin ada yahudi tiba-tiba seperti yang dituduhkan oleh beberapa penulis arab selama ini.

Israel juga sebenarnya tidak begitu rakus dengan wilayah hingga kemudian menganeksasi wilayah bangsa lain dengan serta merta. Semenanjung Sinai yang sebelumnya dikuasainya kemudian dikembalikan kepada Mesir karena Israel merasa bahwa daerah ini tidak terlalu berharga untuk dipertahankan, setidaknya jika ditinjau dari sudut pandang pertahanan. Namun kengototan Israel untuk mempertahankan Dataran Tinggi Golan dalam wilayahnya merupakan buah dari banyaknya tentara Israel yang dikorbankan untuk memperebutkan wilayah ini selama perang 6 hari. Dan pencaplokan wilayah ini oleh Israel kemudian membuka mata Syiria bahwa  mereka di ambang bahaya jika perang ini diteruskan. Mesir adalah negara di dunia ini yang begitu lunak  dengan Israel jika membahas soal Palestina. Hal ini terlihat dari tindakan yang mereka ambil ketika ada warga Palestina menyerobot untuk memasuki wilayah Mesir, yakni tembak mati.

Keengganan Mesir untuk mengambil Jalur Gaza menjadi wilayahnya makin memperjelas persoalan bahwa ini tidak sesederhana kelihatannya. Demikian pula keengganan Jordan untuk menampung penduduk Palestina yang notabene saudara-saudara mereka sesama bangsa Arab merupakan sebuah keganjilan. Penyebutan bangsa Palestina dalam nomenklatur makin memperkeruh suasana, loh emang selama ini ada yang namanya Bangsa Palestina, bukannya mereka semua sama-sama arab? Dikotomi Iran vs Irak memang wajar karena Iran sendiri didiami oleh Bangsa Persia sejak ratusan tahun, namun dikotomi Irak vs Arab atau Arab Saudi vs Kuwait semata-mata hanya dinamika semu kesejarahan mengingat kedua negara tersebut sama-sama diduduki oleh bangsa Arab. Lantas mengapa rakyat Palestina dibiarkan punah berjuang dengan kebodohannya jika negara-negara kaya minyak ini bisa memberikan alternatif yang lebih realistis dan manusia yakni dengan menyerap rakyat Palestina sebagai penduduk dari wilayahnya?

Tuesday, July 15, 2014

Statistik Quick Count

"There are three kinds of falsehoods: lies, damned lies, and statistics." Benjamin Desraili
Kebenaran itu bukan ditentukan oleh siapa Anda, apa gelar Anda, seberapa cerdas Anda, tapi ditentukan oleh seberapa terbuka Anda untuk membuang kefanatikan di kepala Anda, lantaran terobsesi dengan seabrek pencapaian yang Anda miliki.
Sebuah kebenaran bisa dicapai melalui diskusi. Tapi yang aneh, tidak sedikit kita mendengar umpatan semisal, “gue itu doktor lulusan Harvard, lu siape?” yang hakikatnya pernyataan yang sangat takabur dalam menilai kemampuan orang lain dalam menggagaskan kebenaran. Bahkan seorang profesor hebat dalam matematika pun ketika dikatakan ada yang salah dengan tulisannya, biasanya dia langsung menanyakan salahnya di mana.
Jadi dalam tulisan ini, saya menyatakan saya bukan seorang ahli, saya hanya pencari kebenaran. Jika seorang men-self-declaration dirinya seorang ahli, berarti dia itu bukan ahli. Karena ada banyak celah yang bisa kita cari untuk menjungkirbalikkan pernyataannya tersebut.
Berbicara tentang quick count yang sekarang ini menjadi bahan olok-olokan di media, sebenarnya saya hanya mengajukan pertanyaan sederhana, yakni bagaimana bisa pernyataan yang didasarkan pada data dari sample sebuah populasi bisa mengganti data yang diperoleh dari keseluruhan populasi tersebut. Saya bahkan pernah baca sebuah handbook yang katanya mengatur tentang bagaimana membuat sebuah quick count walaupun kenyataannya di dalamnya tidak terdapat sebuah pun standar operasi (SOP) dalam statistik disebutkan. Sebuah kebenaran harus punya alur logika yang jelas. Dalam hal ini penarikan sampel ala quick count mestinya menyertakan argumen-argumen dasar tentang alasan kita untuk mempercayai kesimpulan yang dihasilkan melalui metode tersebut. Berbicara tentang statistik, sebenarnya saya juga bukan orang statistik, dan saya juga g pernah baca paper-paper tentang kelayakan penggunaan quick count dalam men-judge hasil pemilu sebuah negara. Tapi argumen fundamental saya berkenaan dengan pemilu Indonesia adalah senada dengan kalimat Desraili di atas, bagaimana kita bisa memastikan data dari 2 ribuan TPS bisa digunakan untuk menjudge data dari 500 ribuan TPS? Ingat 2/500 = 0.4 persen. Kecuali Anda orang dungu, Anda akan tahu seberapa kecil signifikansi nilai 0.4 persen terhadap kebenaran yang 100 persen. Saya g tau, apakah di Indonesia semuanya orang bodoh, tapi saya melihat bahwa quick count ini tidak lebih dari akal-akalan LSM-LSM global dalam mencari dana/duit.
Argumennya itu mana? Misalnya saja quick count diambil untuk 5 TPS dari 20 TPS di kampung saya. Dan pada akhirnya didapatkan dari 5 TPS tadi, pasangan X itu menang, maka apa dasar lembaga quick count untuk mengatakan kalo di 15 TPS yang lain si X tadi juga menang. Ingat lo, ini manusia yang punya pikiran yang complex, dalam satu keluarga aja orang beda plihan kok. Dalam satu Individu pun, hari ini bicaranya mau pilih X, nyatanya bisa jadi besok di TPS pilih Y (saya rasa Anda saksikan sendiri fenomena seperti ini), lantas bagaimana kita bisa menjudge-nya dengan begitu yakin? Bisa jadi yang terjadi adalah pembenaran lembaga quick count ini hanya didasarkan pada feeling saja: “ah, jangan-jangan si X memang menang di TPS yang lain.” Tapi kan feeling bukan fakta ilmiah. Untuk sampai pada tahap kebenaran yang mendekati 100 persen, makan argumen yang valid dan data yang melimpah harus tersedia dengan jelas.