Berbicara tentang Soekarno maka hal yang pertama terpikirkan oleh kita adalah karisma beliau sebagai pendiri bangsa. Dalam sejarah telah kita ketahui bahwa Indonesia merdeka di tahun 1945 dengan dibacakannya teks Proklamasi oleh Soekarno dan Mohammad Hatta dan kemerdekaan ini diperoleh setelah melewati proses yang panjang.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak darah yang ditumpahkan hingga tercapai kemerdekaan ini. Pahlawan-pahlawan mati tanpa pernah melihat hasil jerih payahnya. Dalam pikiran mereka hanya terbersit satu semboyan,
yakni merdeka atau mati. Namun Soekarno sendiri menyadari seperti yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Sarinah, bahwa kemerdekaan itu tidak mungkin dicapai tanpa melibatkan arus yang berkembang dalam dunia Internasional.
Kemerdekaan Indonesia ini sesungguhnya dimulai oleh gerakan liberalisme yang menyebar di dataran Eropa begitu pecahnya revolusi Perancis. Dan trend liberalisme ini kemudian memberikan sebuah angin segar bagi Indonesia karena Belanda kemudian memberikan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyetarakan diri dalam sebuah tatanan negara demokrasi pada waktu itu misalnya dengan keikutsertaan putra pribumi ke dalam Volksraad atau izin membentuk partai atau organisasi yang bercorak nasionalisme.
Hal ini kemudian terakumulasi dengan pecahnya perang dunia ke II. Belanda harus angkat kaki dari Indonesia karena Jepang datang dengan bala tentaranya bersamaan dengan serangan NAZI Jerman ke jantung ibukota Belanda. Jepang kemudian memberikan pelatihan pelatihan dasar bagi pemuda-pemuda Indonesia dalam bidang militer. Memang sebelumnya beberapa pemuda-pemuda Indonesia sudah diajak bergabung ke dalam tentara kerajaan Belanda (KNIL), namun mereka ini banyakan bukan dari bagian mayoritas penduduk Indonesia yang mengalami ketertindasan, tetapi merupakan bagian dari status quo yang sudah saling terikat lahir batin dengan kerajaan Belanda. Jadi mustahil mereka menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Belanda dalam memegang senapan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Berbeda halnya dengan datangnya tentara Jepang. Jepang mengajarkan semangat patriotisme. Bahwa bangsa Asia setara dan tidak pantas
dijadikan alas sepatu bangsa Eropa. Dan inipun kemudian memicu beberapa pemberontakan di Indonesia misalnya pemberontakan Suprijadi di Blitar. Sehingga ketika pada akhirnya Jepang kalah perang dan harus meninggalkan Indonesia, kedatangan Belanda sudah tidak lagi disambut hangat seperti sebelumnya. Orang-orang semacam Soeharto dan Kamaruddin yang berasal dari latar belakang petani sudah ditanamkan oleh Jepang benih kebencian, sehingga senjata di tangan mereka yang ketika bersama KNIL digunakan untuk menumpas perlawanan Cut Nyak Dien di Aceh kemudian pada masa kedatangan kembali Belanda digunakan untuk menentang Belanda. Dan pecahlah beberapa pertempuran yang mewarnai berbagai pelosok di Nusantara.
Tetapi kendatipun pertempuran yang dilakukan para pemuda Indonesia ini banyak memakan korban jiwa, namun sebenarnya bukanlah pertempuran yang seimbang. Belanda masih begitu dominan dan ini bisa dilihat pada Agresi militer Belanda I dan II di mana bahkan Presiden Soekarno Dan Hatta harus ditahan oleh Belanda. Pertempuran 10 November di kota pahlawan Surabaya hanya memberikan hasil nihil bagi progress kemerdekaan. Setelah bertempur selama seminggu dan digempur habis-habisan di laut, darat, dan udara pemuda-pemuda Indonesia yang dicap teroris itu harus keluar dari Surabaya. Demikian pula Palagan Ambarawa yang memberikan kisah pembantaian yang pahit, karena mustahil lah kita bisa memukul senjata mesin dengan bambu runcing dalam skenario peperangan bagaimanapun juga.
Faktor penentu kemerdekaan Indonesia sebenarnya adalah faktor diplomasi dan trend kemerdekaan itu sendiri. Sekarang ini saja kita tahu bahwa tidak satupun negara di dunia ini yang masih berada di dalam penjajahan. Semua negara bisa dikatakan sudah merdeka. Malaysia saja bisa merdeka tanpa melalui proses yang berdarah-darah demikian pula India dengan Gandhi nya. Faktor penentu kemerdekaan Indonesia sebenarnya adalah lobi-lobi politik yang dilakukan oleh Mohammad Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, dkk bukan perjuangan Jenderal Soedirman yang masuk hutan naik gunung turun gunung bak anak Pramuka. Tapi ternyata di kemudian hari justru orang-orang penentu kemerdekaan inilah yang bernasib sial karena tidak memperoleh perlakuan yang layak oleh penguasa pada waktu itu yang dalam hal ini Presiden Soekarno.
Bagaimana seorang Syahrir yang berjasa melobi PBB ketika terjadi Agresi Militer Belanda yang pertama yang kemudian melahirkan perjanjian Roem-Royen harus bernasib tragis karena menjadi tahanan tanpa diadili. Keterlibatannya
dalam pemberontakan PRRI tercium oleh Soekarno dan membubarkan partai Syahrir yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI). Penjara yang dingin kemudian menguras kesehatannya sehingga ketika tiga tahun berada dalam penjara Syahrir kemudian harus berobat ke Swiss karena Stroke. Kawan dekatnya di PSI Sugondo Joyopuspito mengantarkannya ke Bandara Kemayoran dan Syahrir hanya bisa menatapnya dengan penuh air mata. Tidak ada jalan yang dinamakan dengan Syahrir, layaknya MH Thamrin di Jakarta, sangat bertentangan dengan jasa Syahrir yang sangat menentukan dalam lobi lobi politik di PBB.
Orang kedua yang juga jadi penentu bagi kemerdekaan Indonesia adalah Amir Syarifuddin. Dialah
perdana menteri Indonesia yang kedua. Beliau berperan sebagai utusan Indonesia dalam perjanjian Renville. Semasa pendudukan Jepang pun beliau ini kerap merasakan dinginnya penjara karena dituduh terlalu progressif dengan ideologi kirinya. Namun nasib beliau ini juga sama tidak beruntungnya dengan Syahrir. Keterlibatannya dalam pemberontakan PKI di Madiun harus membuatnya bernasib tragis karena ditembak mati tanpa diadili oleh seorang serdadu TNI berpangkat kopral.
DN Aidit merupakan orang penting yang ketiga. Dia merupakan "anak kesayangan" Soekarno. Sempat digadang-gadang menjadi presiden berikutnya namun karena adanya intrik di belakang layar yang mungkin sudah diketahui sebelumnya oleh Soekarno membuatnya bernasib sial. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa G30S-PKI merupakan peristiwa yang harus kita kutuk karena memakan banyak korban orang-orang yang berjasa bagi tanah air. Namun yang masih menyisakan pertanyaan di kepala banyak orang adalah mengapa DN Aidit yang sudah di puncak popularitasnya pada waktu itu harus melakukan blunder sejarah. Mengapa beliau terlalu gegabah untuk mengambil tindakan penculikan tersebut. Apakah gerakan G30S itu merupakan ide beliau sendiri? Faktanya seorang Untung yang tidak lain merupakan perwira menengah TNI merupakan eksekutor utama peristiwa tersebut. Dan entah bagaimana detail hubungan antara Untung dan DN Aidit yang jelas peristiwa tersebut di mata Soekarno hanyalah percikan buih di tengah lautan. Untung dan Aidit harus bernasib tragis di ujung peluru eksekutor. Bedanya adalah jika Untung harus diadili terlebih dahulu yang sangat kontras dengan perannya sebagai eksekutor lapangan, namun Aidit didor begitu saja dan dijatuhkan di sumur tua padahal beliau hanya efek samping dari carut marutnya perpolitikan di tanah air pada saat itu. Hingga saat ini jasad Aidit belum ditemukan. Tragisnya peristiwa ini merupakan akhir bagi kekuasaan Presiden Soekarno, tidak seperti apa yang diramalkannya dalam wawancara eksklusif dengan wartawan Cindy Adam.
Orang keempat Adalah Mohammad Hatta. Berbeda dengan Untung atau Syahrir, nasib beliau ini tidak begitu tragis kendatipun tidak bisa dikatakan mujur. Seperti yang disinggung oleh lagu Iwan Fals
hujan air mata dari pelosok negeri.... saat melepas engkau pergi....berjuta kepala tertunduk haru...terlintas nama seorang sahabat... yang tak lepas dari namamu (terbayang gestur bang Iwan yang ogah-ogahan membawakan lagu ini) beliau ini adalah proklamator kedua. Padanyalah negara Indonesia ini dilandaskan, bukan pada Kamarudin atau Jendral Soedirman yang masuk hutan naik turun gunung. Namun yang menjadi soal adalah ketika memasuki fase demokrasi terpimpin, ketidaksukaannya dengan Soekarno dalam menindak pemberontakan PRRI dan kemudian berubahnya haluan politik Indonesia yang cenderung kekiri-kirian membuat beliau kemudian mengundurkan diri dari kursi wakil presiden. Sebagian besar akhir hidupnya dihabiskan di rumah bak pesakitan karena tidak terlibat lagi dalam aktifitas politik apapun.
Orang keempat adalah Alex Kawilarang. Beliau ini adalah bapak pendiri Kopasus. Punya banyak jasa dalam pergerakan kemerdekaan dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan separatis di tanah air. Sulawesi tidak akan aman tanpa jasa beliau ini, karena orang-orang semisal Andi Azis dan Kahar Muzakkar yang tidak puas dengan bentuk negara Indonesia harus bertekuk lutuk di kaki beliau. Namun yang jadi masalah adalah karena perseteruannya dengan letnan kolonel Soeharto yang kelak jadi presiden dan lebih dekat dengan Soekarno akhirnya mengantarkan nasib beliau ini ke ambang kepailitan. Tipikalnya yang senang dengan lapangan militer membuatnya frustasi ketika harus dimutasi ke Amerika menjadi duta besar. Ini kemudian dilampiaskannya ketika terjadi peristiwa pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Beliau kemudian membacakan proklamasi tandingan untuk negara yang hanya sebatas Sulawesi Utara. Akan tetapi karena kurangnya populasi di Sulawesi Utara pada waktu itu yang berimbas dengan sedikitnya jumlah tentara yang dimilikinya membuat nasib beliau ini tragis tidak seperti rekannya letkol Soeharto. Beliau kemudian hanya bisa menghabiskan sisa hidupnya sebagai pesakitan tanpa bisa berbuat apapun untuk kemajuan bangsanya karena semua usaha-usaha yang dilakukannya untuk mendapatkan secuil imbalan atas jasa-jasanya harus diboikot oleh Soeharto.
Orang terkahir dalam daftar ini mungkin Syafruddin Prawiranegara. Mungkin ini bisa dibilang adalah Presiden Indonesia yang kedua setelah Soekarno dan sebelum Soeharto. Beliau memimpin negara Indonesia pada masa pemerintahan darurat yakni ketika Soekarno ditahan oleh Belanda dalam agresi militer I. Keterlibatannya dalam peristiwa PRRI membuatnya dikucilkan dari dunia politik. Beliau menghabiskan masa tuanya sebagai pendakwah karena dilarang terlibat perpolitikan oleh Soekarno. Dan sampai saat inipun kita sama sekali tidak pernah diberi penekanan bahwa beliau ini merupakan Presiden Indonesia yang kedua..