Tuesday, January 2, 2018

Bukti Bumi Datar: Eksperimen Michelson-Morley

Salah satu eksperimen termutakhir yang bisa disuguhkan ke pembaca yang bisa menjadi bukti penting bagi datarnya bumi adalah eksperimen Michelson-Morley. Tujuan awal eksperimen ini diadakan oleh para ilmuan untuk mendeteksi gerak relatif dari eter terhadap bumi.

Pada waktu itu ilmuan menganggap bahwa cahaya merambat layaknya gelombang-gelombang lainnya yakni membutuhkan medium perambatan. Dan tentu kecepatan cahaya akan dipengaruhi oleh kecepatan medium perambatan tersebut yang diistilahkan sebagai eter. Yang jadi bahan perdebatan pada waktu itu adalah persoalan apakah eter ini diam relatif terhadap bumi ataukah memiliki gerak relatif. Jika eter diam relatif terhadap bumi maka tentu ini disebabkan oleh adanya seretan bumi terhadap eter---analog dengan seretan bumi terhadap atmosfir dalam rotasinya---yang akibatnya maka kita tidak mungkin menjumpai adanya aberasi cahaya-cahaya dari bintang-bintang di kejauhan. Sebaliknya adanya pergerakan relatif eter terhadap bumi akan mengakibatkan adanya aberasi cahaya dari bintang-bintang di kejauhan. Dan fakta inilah yang ingin diuji oleh eksperimen Michelson-Morley: menentukan berapa gerak relatif eter terhadap bumi jika diasumsikan bumi bergerak dalam alam semesta mengelilingi matahari.
Seperti kita ketahui adalah hal yang tidak mungkin untuk menganggap bahwa eter itu diam relatif terhadap bumi kecuali sebagian eter itu---khusunya yang berada di sekitar permukaan permukaan bumi---ikut terseret dengan pergerakan bumi mengelilingi matahari. Sebab jika iya, maka sama saja kita menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta, yang tentu saja merupakan pendapat yang sudah jauh-jauh hari disanggah oleh para fisikawan. Jika eter diam relatif terhadap bumi, maka tentu saja matahari, dan bintang-bintang lainnya lah yang bergerak relatif terhadap eter.

Untuk menguji pendapat ini, Michelson dan Morley melakukan eksperimen dengan menggunakan alat eksperimen supersensitif. Terdapat berkas cahaya yang dilewatkan pada sebuah cermin di mana setelah melewati cermin---half-silvered mirror:cermin yang setengah memantul dan setengah diteruskan---ini berkas cahaya akan terpisah menjadi dua di mana satu berkas akan diteruskan menempuh lintasan yang lurus dan satu berkas lagi akan dipantulkan untuk membentuk lintasan yang membentuk sudut 90 derajat dari berkas cahaya yang pertama. Kedua berkas ini kemudian sampai pada sebuah cermin di ujung lintasan yang kemudian memantulkan keduanya ke cermin yang pertama untuk selanjutnya sampai ke detektor dan membentuk pola interferensi.

Karena eter diasumsikan mengalir dalam arah yang berlawanan dengan arah revolusi bumi mengelilingi matahari maka satu berkas tadi akan memiliki memiliki waktu tempuh yang lebih lama selama bolak-balik di lintasan pemantulan saat menemui cermin kedua. Berkas pertama akan maju dengan kecepatan yang arahnya sama dengan arah gerak aliran eter, namun kembali dengan kecepatan yang berlawanan dengan arah kecepatan aliran eter. Sementara berkas kedua hanya memiliki komponen kecepatan dengan arah tegak lurus dengan arah kecepatan aliran eter. Dengan demikian diharapkan nantinya ketika sampai di detektor beda waktu ini akan dimanifestasikan ke dalam beda fasa kedua berkas gelombang cahaya tersebut. Jika beda fasanya genap akan menciptakan pola interferensi konstruktif.

Namun apa yang didapatkan adalah pola interferensinya yang teramati tidak cukup untuk menggiring pada kesimpulan adanya selisih waktu tempuh yang dimaksud. Sehingga penafsiran yang diberikan adalah kedua berkas cahaya tersebut memiliki waktu tempuh yang sama yang artinya sama sekali tidak ada pergerakan relatif eter terhadap bumi. Penafsiran ini bisa mengimplikasikan dua kemungkinan: pertama tidak ada medium eter, bahwa cahaya sebagai gelombang sama sekali tidak membutuhkan medium perambatan seperti halnya gelombang-gelombang lainnya; atau bisa jadi jika cahaya memiliki medium perambatan layaknya gelombang-gelombang lainnya maka bumi itu itu diam relatif terhadap medium perambatan ini, yang artinya bumi sama sekali tidak bergerak mengelilingi matahari seperti apa yang selama ini kita yakini.

Selain itu dengan melihat postulat relativitas Einstein di mana kecepatan cahaya diturunkan darinya akan menimbulkan kerancuan lebih lanjut. Hukum-hukum fisika berlaku sama untuk semua kerangka acuan inersial. Jika kita mengukur Gaya Coulomb pada pesawat terbang yang terbang di atas permukaan bumi maka hasil yang diperoleh akan sama dengan hasil pengukurannya di atas permukaan bumi yang diam. Jadi dengan menganggap bulan dan matahari saling bergerak terhadap eter maka kecepatan cahaya yang dipancarkan dari matahari akan bergerak secepat $c$ pada medium eter. Akan tetapi karena eter sendiri bergerak dengan kecepatan $v$ terhadap bulan maka tentu nilai kecepatan tadi akan ditambahkan sehingga oleh pengamat di bulan kecepatan cahaya menjadi $c + v$. Dan dengan mengamati cahaya yang datang dari matahari dalam periode yang berbeda tentu akan didapatkan nilai kecepatan cahaya yang berbeda karena bulan pada periode-periode tersebut memiliki kecepatan yang searah atau berlawanan dengan kecepatan gerak eter. Dan dengan menggunakan prisma maka kita bisa melihat perbedaan sudut pembiasan karena perbedaan kecepatan cahaya dalam kedua periode tersebut. Namun apa yang diamati oleh astronom pada pendaratan di bulan sama sekali berbeda, di mana tidak pernah diperoleh adanya sudut pembiasan yang berbeda untuk cahaya yang datang dari matahari atau bintang-bintang lainnya dalam berbagai periode pengukuran. Jika dihubungkan dengan hukum fisika, perbedaan kecepatan cahaya untuk periode yang berbeda sama saja mengoreksi hukum fisika dalam kedua periode tersebut. Pengujian terhadap Hukum Coulomb yang dilakukan untuk dua periode yang berbeda di bulan akan memberikan hasil pengukuran gaya yang berbeda.

Bisa juga kita mengasumsikan bahwa bumi tetap berevolusi mengelilingi matahari dan eter diam relatif terhadap bumi. Dengan demikian mataharilah yang bergerak relatif terhadap eter. Jadi pada saat enam bulan pertama eter (dan juga bumi) bergerak menjauhi matahari sementara 6 bulan berikutnya eter bergerak mendekati matahari. Akibatnya adalah terjadi efek doppler di mana terdapat perbedaan frekuensi antara cahaya matahari yang datang menuju bumi dalam kedua selang tersebut. Sebenarnya efek Doppler ini juga terjadi jika kita tetap menganggap bahwa bumi bergerak relatif terhadap eter dan matahari yang relatif diam. Hanya saja peningkatan frekuensi yang teramati tidak sebesar kasus pertama ketika bumi yang diam dan sumber cahaya yang bergerak. Tentu pembaca bisa berargumen bahwa frekuensi yang lebih tinggi dijumpai ketika bumi dan sumber cahaya bergerak bersama-sama saling mendekati, namun ini sudah dibantah oleh eksperimen Michelson-Morley tersebut.

Menganggap bahwa bumi diam relatif terhadap seluruh alam semesta tentu lebih aneh lagi di mata fisikawan. Apa yang membuat bumi begitu istimewa dibandingkan objek-objek lainnya di alam semesta sehingga eter diam relatif terhadap bumi sementara seluruh alam semesta baik matahari, bulan, dan bintang-bintang di kejauhan bergerak relatif terhadap eter yang sama saja dengan mengatakan bahwa bumi itu merupakan pusat alam semesta. Bisa dikatakan bahwa bumi merupakan satu-satunya tempat di alam semesta di mana kecepatan cahaya yang diberikan oleh persamaan Maxwell bernilai $c$, di mana di tempat lainnya kecepatan cahaya harus ditambahkan dengan kecepatan objek tersebut. Tempat yang menjadi kerangka acuan universal, karena di situlah muatan bergerak sesuai dengan prediksi dari Hukum Coulomb. Jadi ilmuan tidak setuju dengan klaim ini.

Dua pendapat lain yang menjadi pegangan adalah eter terseret sebagian oleh permukaan bumi sehingga seberapapun cepatnya kecepatan bumi mengelilingi matahari, yang ditambah dengan kecepatan matahari mengelilingi pusat galaksi, kemudian ditambahkan lagi dengan kecepatan galaksi yang saling menjauh satu sama lain dalam pengembangan alam semesta, sama sekali tidak mengoreksi kecepatan cahaya yang datang. Hal ini karena medium perambatan cahaya itu pada beberapa bagian, khususnya dekat permukaan bumi diam relatif terhadap eter sehingga kecepatan cahaya tetaplah $c$. Namun adanya aberasi cahaya bintang langsung mementahkan pendapat ini. Jika eter terseret oleh pergerakan bumi di alam semesta maka kita tidak mungkin menjumpai adanya fenomena aberasi cahaya bintang. Jadi ilmuan kemudian memilih alternatif kedua yakni meniadakan eter sebagai medium perambatan cahaya. Cahaya murni bergerak pada ruang dengan menggunakan kecepatannya sendiri.

Sebenarnya adalah hal yang menarik bahwa cahaya sebagai gelombang elektromagnetik bisa merambat tanpa membutuhkan medium perambatan. Jika dianalogikan dengan bentuk gelombang-gelombang lain, maka ini sama saja dengan mengatakan gelombang pada tali merambat tanpa adanya tali; gelombang suara merambat tanpa adanya udara; gelombang gempa merambat tanpa adanya permukaan bumi; tentu semuanya adalah hal yang mustahil. Artinya kita mengatakan bahwa tali ketika dilemparkan sudah membentuk lekukan-lekukan gelombang. Air ketika mengalir sudah berbentuk lekukan ombak. Dan bumi ketika dihamparkan sudah menampakkan gelombang gempa. Padahal gelombang tidak lain merupakan perambatan energi. Jika kita melihat per atau pegas tentu bentuknya membentuk lekukan-lekukan mirip gelombang, namun jika kita menggerakkan per atau pegas ini dalam ruang tidak lantas menjadikannya memenuhi persamaan gelombang sehingga dapat disebut sebagai gelombang. Padahal dalam kasus gelombang elektromagnetik, gelombang ini menyebar begitu saja dalam ruang hampa layaknya pergerakan pegas tadi. Kemudian kecepatan gelombang elektromagnetik yang tidak bergantung gerak pengamat adalah hal yang jauh diluar nalar kita. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh keyakinan ini akan mengobok-obok akal sehat kita karena apa yang selama ini menjadi bagian alami dari pancaindera dan nalar kita yakni ruang dan waktu berubah: urutan waktu dapat dibalik dan ruang tidaklah mutlak seperti apa yang kita dapati. Tapi hal ini belum finis, karena sampai detik inipun eksperimen yang serupa dengan eksperimen Michelson-Morley pada awal abad 20 masih dilakukan dengan menggunakan ketelitian alat yang lebih tinggi lagi. Dan bisa jadi hasilnya mendobrak keyakinan yang ditanamkan ke kita selama ini tentang alam semesta.

No comments: