"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (angkuh)." (QS. Luqman:18)
Berikut ini beberapa point penting mengapa saya tidak menyukai Gubernur Ahok.
1. Gubernur Ahok terkesan sombong dan memandang rendah kaum pribumi. Gubernur Ahok menyatakan pernyataan semisal, “Kalau tahun depan terbukti ada (calon gubernur) yang lebih adil dan lebih jujur daripada saya, jangan pilih saya. Inilah ajaran nabi, bukan memanipulasi orang ikut dia membabi buta, tetapi dikasih pencerahan.” (sumber)
Dalam pernyataannya ini secara implisit Gubernur Ahok ingin menunjukkan pada kita bahwa tidak mungkin ada lagi gubernur yang bakal lebih adil dan lebih jujur ketimbang dia. Dia menganggap calon gubernur selain dia bakal melakukan kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang dibuat oleh gubernur-gubernur sebelumnya: malas, kurang praktis hanya bisa berteori, suka KKN, tidak bisa melepaskan diri dari jeratan kongkalikong antar kolega dekat, dan banyakan hanya melakukan kebijakan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kolega dekat.
Saya juga kurang setuju dengan pernyataan beliau yang mengatakan bahwa dia jujur, sebab apakah benar selama ini Gubernur Ahok sudah jujur? Sejujur-jujurnya orang china, selalu saja tertanam dalam mindsetnya tabiat nyari untung, dan kita tidak mungkin bisa jujur sekaligus nyari untung, harus salah satunya dikorbankan. Mungkin juga ini berlaku pada diri Gubernur Ahok, who knows?
Sikap Gubernur Ahok yang menolak saran Megawati Soekarnoputri untuk mengambil Boy Sadikin sebagai wakilnya merupakan bentuk arogansi paling nyata dari beliau. Gubernur Ahok seolah lupa bahwa tanpa peran PDI-P sebagai mesin politik, maka Gubernur Ahok sama sekali tidak bisa menjadi DKI-1 saat ini dan masih berjuang menjadi jagoan kampung di Belitung. Naiknya Ahok menjadi Gubernur DKI tidak bisa dipungkiri merupakan tuah dari posisinya sebagai wakil dari Jokowi, dan popularitas Jokowi sebagian besar disumbang oleh posisinya yang berasal dari etnis pribumi mayoritas di Jakarta, suku jawa. Silakan Gubernur Ahok melakukan survei untuk mencari tahu latar belakang etnis/suku di DKI, berapa persen china, berapa persen jawa, berapa persen betawi, Kristen, arab, Islam, dll, baru kemudian Gubernur Ahok bisa mengambil kesimpulan apakah naiknya dia di singgasana DKI-1 karena popularitasnya semata, atau karena kecipratan rejeki dari rumah sebelah. Dan kesuksesan Jokowi waktu Pilkada kemarin juga tidak bisa lepas dari peran partai sebagai mesin politiknya. Andaikan Jokowi maju dari partai PKS, PKB, atau PPP maka ceritanya kemungkinan bisa lain mengingat partai-partai tersebut kurang populer di pulau jawa ini. Coba bandingkan figure Jokowi dengan figure jawa lainnya (misalnya Dahlan Iskan) yang peruntungan nya berbeda hanya karena menunggangi mesin politik yang berbeda. Jokowi bisa naik jadi DKI-1 tidak lepas dari peran media yang melakukan ekspose besar-besaran terhadap figur beliau, dan media sendiri merupakan bagian dari mesin partai secara keseluruhan.
Demikian pula sikap Gubernur Ahok yang kemudian menyerang balik partai yang menjadi pengusungnya dalam Pilkada DKI lalu, adalah sebuah arogansi yang sama sekali bertentangan dengan sila kedua Pancasila. Padahal yang dibutuhkan di Indonesia ini bukan sekedar tokoh yang jujur dan adil saja, akan tetapi tokoh yang bisa fit dengan sistem yang sudah ada. Walaupun dia paling jujur dan paling adil sekalipun kalau eksistensinya hanya memberi mudarat bagi sistem, maka politik itu ibarat sistem imun tubuh kita, orang seperti itu akan disingkirkan. Gubernur Ahok membuat banyak langkah yang seperti ingin menabrak status quo yang dimiliki oleh partai politik. Belum hilang dari ingatan bagaimana Gubernur Ahok mengambil sikap berseberangan dengan Partai Gerindra, kini PDI-P lagi yang harus digurui tentang tata cara berpolitik.
Soal adil, saya juga kurang yakin apakah Gubernur Ahok merupakan figur yang adil. Sebab seadil-adilnya orang China tetap dia punya kecenderungan untuk membela orang China ketimbang etnis pribumi. Andaikan Indonesia perang dengan RRC saat ini, saya tidak tahu sikap apa yang bakal diambil oleh Gubernur Ahok, apakah membela RRC atau Indonesia. Atau jangan-jangan dia meniru Alberto Fujimori bakal lari kembali ke Belitung karena hanya mau cari aman. Orang China setau saya begitu gampang menjudge nasib orang lain, begitu dirinya ditimpa masalah yang sama, dia kemudian panik dan bingung sebelum kemudian menghalalkan segala cara untuk keluar dari masalah.
Hal ini pula yang saya jumpai pada kasus Kalijodo kemarin: yang miskin digusur dan yang kaya dibiarkan. Di Jakarta ada banyak tempat prostitusi terselubung yang bisa dengan mudah dijumpai dan statusnya sebagai tempat prostitusi sudah menjadi rahasia umum. Pernahkah ada ikhtiar dari Gubernur Ahok untuk menggeledah tempat-tempat seperti itu? Saya yakin soal bukti bisa dihadirkan karena banyak pengunjung tempat-tempat seperti itu yang bisa ditanyai sebagai saksi. Yang jadi masalah adalah niat dari Gubernur Ahok sendiri, apakah Gubernur Ahok punya niat yang tulus untuk memberantas prostitusi tanpa pilih kasih, atau jangan-jangan dia enggan untuk melakukannya karena faktanya tempat-tempat seperti itu dimiliki oleh keturunan China. Jadi tindakannya untuk menggusur Kalijodo kemarin merupakan buah kegerahannya atas hadirnya tempat-tempat kumuh di DKI Jakarta.
Jika kemudian Gubernur Ahok berdalih bahwa tindakannya itu bukan ditujukan untuk memberangus aktivitas prostitusi, akan tetapi untuk membersihkan jalur hijau dari bangunan-bangunan ilegal, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah bisa Gubernur Ahok yang adil dan jujur ini berani menggusur Mall Taman Anggrek (dan beberapa mall lainnya) yang notabene bediri di kawasan jalur hijau (baca poin 2), atau dia enggan juga karena yang punya itu keturunan China---saya masih tunggu ketegasan Gubernur Ahok yang seperti katanya di biografinya bahwa dia tidak takut dengan siapapun selama dia berpegang di jalan Tuhan.
2. Gubernur Ahok tidak punya kepekaan dengan penduduk pribumi. Saya setuju dengan visi dari Gubernur Ahok yang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih dan modern. Namun hal yang paling penting sebenarnya bukan soal bersih saja akan tetapi soal kesejahteraan penduduk. Bagaimana bisa tinggal di kawasan yang bersih jika buat cari makan saja susah. Saya rasa itu terlalu naif jika Gubernur Ahok mengatakan bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta cukup rendah dengan hanya berpatokan pada angka kuantitatif soal defenisi garis kemiskinan misalnya dengan punya pendapatan minimal 1 juta sebulan. Sebab coba Gubernur Ahok menggunakan data real di lapangan. Berapa persen penduduk Jakarta yang punya pendapatan per bulan di atas 1 juta. Kemudian kurangi nilai satu juta ini dengan biaya sehari-hari untuk hidup di Jakarta, mulai dari kontrakan (paling murah 500 ribu), transportasi perhari (kurang lebih 10 ribu) dan uang makan (kurang lebih 20 ribu perhari) maka nilai satu juta sebulan itu boleh dibilang adalah hal yang nihil. Maksudnya adalah jika gaji kita hanya 1 juta bulan, maka adalah hal bodoh jika 500 ribu nya digunakan untuk bayar kosan. Bukankah lebih baik jika ditabung atau digunakan untuk keperluan-keperluan lainnya? Maka jangan heran jika banyak penduduk Jakarta memilih tinggal di bangunan-bangunan instan (baca:gubuk) yang banyak dijumpai di sepanjang rel komuter (saya kurang tau apakah Gubernur Ahok pernah naik komuter) karena mereka ingin menyisihkan pendapatannya yang tidak seberapa itu untuk keperluan lain alih-alih bayar kosan. Dan kalaupun mereka memilih tinggal di bawah jembatan, maka itu adalah hal yang masuk akal, karena buat apa tinggal jauh-jauh dari tempat kerjaan hingga bayar ongkos transportasi ke sana-kemari sementara kebutuhan dasar saja masih susah. Masa gaji hanya habis buat sewa angkot?
Saya mengendus adanya konspirasi di sini, di mana penduduk asli Jakarta yakni suku betawi coba disingkirkan, entah dengan penggusuran atau dengan memutus mata pencaharian mereka dengan memindahkan mereka ke rumah susun. Sebab jika kita sudah tinggal di kawasan rumah susun maka yang terjadi adalah kita akan kesulitan mendapatkan penghasilan tambahan yang bisa kita dapatkan saat rumah kita berada di pinggir jalan raya yang ramai dilalui oleh orang-orang. Dan ini otomatis dengan sendirinya membuat kita kemudian mencari lahan basah yang lain yang bisa saja jauh dari habitat asli. Implikasinya suku betawi yang tadinya merupakan suku asli Jakarta sudah tercerai-berai, eksodus kemana-mana karena kampung halaman mereka sudah berganti menjadi bangunan apartemen. Sementara mereka tidak bisa menyesuaikan pendapatannya agar bisa menempati apartemen tersebut. Ondel-ondel diganti dengan Gangnam Style.
Indonesia tidak sepenuhnya negara kapitalis di mana pemilik modal yang berhak menentukan peraturan. Indonesia adalah negara Pancasila di mana “the founding father” negara ini yang sebagian besar bukan orang China merupakan orang yang punya kecenderungan besar jadi komunis, namun kemudian memilih sosialis lantaran terbentur latar belakang agama. Jadi jika kemudian kebijakan-kebijakan yang ada lebih condong pada pemilik modal, maka bukankah itu sudah mencederai apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini? Kosep the founding father ini sudah sepaket dengan konstitusi bahkan di negara-negara yang paling liberal sekalipun. Karena itu lah yang menjaga negara agar tetap berada pada defenisi nya. Tanpa konstitusi negara akan tercerai berai, sementara tanpa adanya penjunjungan pada pendiri bangsa maka negara akan kehilangan militansi. Negara tanpa militansi lebih baik dibubarkan!
Saya mengusulkan kepada pembaca kompasiana di sini, jika ada yang punya waktu, bisa melakukan penyelidikan independent tentang nasib para penduduk yang terusir ke rumah susun tersebut. Bagaimana nasib mereka, bisa dilakukan survei yang hasilnya disusun ke dalam laporan dalam format pdf atau dibuatkan sebuah film dokumenter (bisa diunggah di youtube atau academia). Bagaimana nasib penduduk tanah abang setelah menempati Rusun Marunda, apakah masih tetap di rumah susun itu, atau kemudian pulang kampung. Jika yang digusur adalah suku jawa dan kemudian ketika dipindahkan ke rumah susun mereka tidak betah sehingga kemudian memilih pulang kampung, mungkin masuk akal, namun bagaimana jika yang digusur ini suku betawi? Suku betawi mau lari ke mana? Suku betawi susah cari makanan, jadi transmigran juga dilema karena jauh dari kampung halaman dan sanak keluarga. Pada akhirnya suku betawi ini beserta budayanya akan punah karena tersingkirkan oleh hadirnya pendatang-pendatang yang berkantong tebal. Di Indonesia ini hewan saja dilindungi, apalagi manusia?
Model pemukiman ala rumah susun menurut saya kurang tepat jika diterapkan pada penduduk negara yang masih berkembang seperti Indonesia. Kalo meniru situasi di Eropa, bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal biasanya maksimal hanya terdiri dari lima lantai, namun saya kurang tahu apakah ini bisa cocok diterapkan di Indonesia. Bangunan rumah susun khas pencakar langit kurang cocok karena banguan jenis ini memangkas kemungkinan penduduknya untuk menggunakan lahan tempat tinggal sekaligus sebagai lahan investasi. Bangunan tersebut hanya cocok untuk negara-negara industrialis seperti RRC.
Penetapan jalur hijau dalam program Jakarta Smart City juga seolah membenarkan dugaan saya bahwa jalur hijau diadakan untuk membersihkan kawasan kumuh di DKI, sekaligus memberi lahan seluas-luasnya bagi para pendatang berkantong tebal untuk menempati lahan tersebut. Mengingat banyak rumah yang berada di daerah jalur hijau ternyata mempunyai sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang menentukan bahwa Mall Taman Anggrek masuk jalur biru dan aman dari penggusuran, sementara Kalijodo masuk jalur hijau dan harus digusur, kalau bukan sekedar preferensi Gubernur Ahok semata. Pertanyaan yang saya tujukan ke benak pembaca, apa parameter objektif yang bisa kita gunakan untuk membedakan antar daerah yang harus masuk jalur hijau dengan daerah yang harus masuk zona biru? Apakah program zonasi ala Jakarta Smart City ini sudah melalui persetujuan DPRD mengingat ini menyangkut masalah pertanahan yang berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat atau hanya kesewenang-wenangan pemerintah yang dimotori Gubernur Ahok?
3. Gubernur Ahok suka menabrak aturan. Tindakan Gubernur Ahok yang mengucapkan kata-kata kasar, misalnya “tahi” merupakan hal yang melanggar undang-undang di Indonesia ini.
4. Gubernur Ahok suka menggunakan aturan sebagai alat untuk membunuh lawan-lawannya. Jika di Jaman Soeharto kita sering mendengar orang yang dijerat pasal Subversif, maka hal yang sama terjadi di masa Gubernur Ahok. Kediktatoran yang bersumber pada ego pribadi kemudian dilampiaskan dengan menggunakan tameng peraturan. Dalam sepakbola kita sudah tahu kendatipun ada handsball di kotak penalti dan pertandingan lagi seru sama-sama kuat dan kedudukan lagi imbang, biasanya sang wasit memilih untuk mengambil langkah manusiawi untuk tidak menunjuk titik putih, karena itu akan mematikan pertandingan. Nah seharusnya contoh ini bisa diambil oleh Gubernur Ahok untuk tidak menjadi Soeharto jilid dua. Kepala sekolah di PHK, bawahan dipidanakan, lurah dimutasi dan lain-lain kesewenang-wenangan yang dilakukan demi memenuhi ego pribadi yang katanya harus memaksakan bawahannya agar tunduk pada aturan padahal bisa saja motifnya masalah pribadi (bukan “nothing personal”). Apa susahnya diberi surat peringatan: peringatan satu, peringatan dua, peringatan 3. Masa PNS yang sudah golongan IV dipecat hanya karena sering lambat masuk?
Memang harus diakui bahwa peraturan di Indonesia ini punya banyak kelemahan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang jeli sehingga orang-orang seperti Pak Yusril Ihza Mahendra yang juga dari belitung seperti menertawai kesilapan Gubernur Ahok yang harus-harus ngotot-ngototan untuk melakukan pengumpulan KTP ulang, karena katanya harus sesuai dengan konstitusi. Namun itu bukanlah jadi dalil kita untuk kita untuk “meng-kadali” negara atau sebaliknya bertindak sebagai negara.
6. Gubernur Ahok kurang bisa menepati janji. Masih segar di ingatan saya janji Gubernur Ahok untuk menertibkan kawasan jalur hijau lainnya, yakni mall Taman Anggrek. Saya tunggu apakah benar janji ini bisa direalisasi, atau hanya sebatas janji tinggalah janji. Jika benar ini bisa direalisasikan, maka saya bersumpah untuk tawaf keliling monas 10 kali sambil bugil tanpa sehelai benang pun yang menutupi (lihat kembali poin 2).
Karena sejujurnya saya tidak mempermasalahkan soal identitas Ahok yang Kristen sekaligus China, yang saya permasalahkan adalah sikap tidak bisa berlaku adil dan main tebang pilih ini, sekaligus kurang peka dengan situasi orang lain, hanya bisa menjudge.