Thursday, September 18, 2014

Salah Paham Paradoks Kembar di Relativitas Khusus

Ada banyak kesalahpahaman yang dilakukan oleh guru-guru di Indonesia dalam menjelaskan fisika kepada siswa-siswinya. Salah satunya yang berkenaan dengan materi relativitas khusus.

Sebenarnya dulu saya juga gak begitu paham dengan teori relativitas khusus. Saya hanya terpukau dengan cerita bahwa Einstein yang menemukan bom atom. Padahal faktanya Einstein sama sekali tidak terlibat dalam proyek Manhattan: proyek yang merancang bom atom pertama. Proyek Manhattan sendiri lebih berat ke sisi eksperimen (mengenai radioaktif) ketimbang ke aspek teori.

Untuk itu dalam tulisan ini saya akan memberikan sedikit pencerahan mengenai apa sih yang menarik dari teori relativitas khusus. Kemudian kontroversi di balik relativitas khusus, yang sebenarnya secara filosofi belum sepenuhnya terselesaikan, salah satunya mengenai paradoks kembar.

Ketika kita diberikan sebuah paradoks, maka tugas kita untuk mencari resolusi dari paradoks itu. Begitu pula dengan paradoks kembar ini. Ilmuan-ilmuan sudah mencoba mencari solusi dalam mengatasi paradoks ini. Tetapi bisa dikatakan penjelasan mereka  belum memuaskan (setidaknya menurut saya). Namun kita tetap menggunakan teori relativitas khusus lantaran teori ini punya banyak kegunaan, dan diverifikasi oleh banyak eksperimen. Jadi untuk saat ini kita kesampingkan dulu aspek filosofinya, dan kita ambil aspek manfaat dari teori relativitas khusus ini.

Relativitas khusus disusun oleh Einstein untuk menjelaskan inkonsistensi dalam penjelasan mekanika klasik (mekanika Newton) berkaitan dengan gejala elektromagnetik. Kalo Anda ingin memahami teori relativitas khusus, maka ada baiknya Anda baca dulu sampe paham gagasan-gagasan penting dalam teori listrik magnet (elektromagnetik).

Penggunaan transformasi klasik (Galilean) terhadap kasus (eksperimen pikiran) magnet dan konduktor mengakibatkan gaya yang dialami partikel bermuatan pada konduktor ditinjau dari kerangka pengamatan magnet merupakan gaya  magnet. Sementara jika ditinjau dari kerangka pengamatan konduktor sendiri gaya itu semata-mata adalah gaya elektrik. Nilai kedua gaya adalah sama, namun bentuk rumusannya berbeda. Dengan demikian dapat dikatakan persamaan Maxwell tidak invarian (tidak sama bentuknya) jika ditransformasikan menggunakan transformasi Galilean. Sementara konsep ether sendiri juga tidak terbukti jika ditinjau dengan eksperimen pikiran yang sama. Dengan demikian perlu dirumuskan konsep-konsep baru yang memodifikasi konsep-konsep Newtonian dalam meninjau fenomena elektromagnetik. Di sinilah peran Einstein, yakni mengatasi masalah inkonsistensi tersebut. Kata paman saya, sebuah dogma haruslah konsisten agar bisa disebut sebagai kebenaran. Atau sebuah rumus haruslah tetap rumusan yang sama, tak peduli apakah kita masih di alam dunia atau sudah di alam barzakh.

Kembali ke kasus paradoks kembar.

Tidak lama berselang setelah Einstein merumuskan teori relativitas khususnya, terdapat seorang ilmuan yang mengajukan sebuah paradoks. Dalam teori relativitas khusus ditemukan adanya fenomena semisal dilasi waktu, di mana waktu (baca: tenggang antara dua kejadian)  mengalami dilasi jika diamati oleh dua pengamat yang berbeda. Misalnya dua orang kembar, si A yang diam dan si B yang bergerak relatif terhadapnya. Berdasarkan relativitas khusus, waktu di B akan melambat menurut pengamatan si A. Artinya hal-hal yang mengenai metabolisme sel, pembelahan sel, denyut jantung, kedipan mata, hembusan nafas, pada B  semuanya akan melambat jika dilihat dari A. Jadi jika Tuhan memberikan umur yang sama kepada si A dan si B, si B akan menjalaninya lebih lama ketimbang si A, walaupun kenyataannya dalam penghayatan si B itu biasa saja (sama juga dengan si A). Misalnya si B naik roket dengan kecepatan tinggi (mendekati kecepatan cahaya) ke planet X yang jaraknya sangat jauh yang memakan waktu sekian tahun cahaya, dan kemudian balik kembali ke bumi menemui si A, akan didapatinya si A tadi sudah menua.

Paradoks terjadi ketika kita membalik kasus pengamatannya. Dalam dunia fisis (yang dipahami oleh Einstein dan begitu juga hingga saat ini) tidak ada kerangka acuan yang mutlak. Jadi ketika si B bergerak relatif menurut si A, maka si A juga bergerak relatif terhadapnya menurut si B. Dengan demikian rumus dilasi waktu oleh  Einstein ini mestinya bisa dibalik yang mengakibatkan waktu di A akan melambat menurut si B (berkebalikan dengan yang disebutkan pada paragraf sebelumnya). Jadi yang menua adalah B bukan A. Terjadi inkonsistensi sehingga kita bingung mana yang dipake?

Ada beberapa penjelasan yang coba diberikan oleh ilmuan untuk membela teori relativitas khusus ini. Salah satunya adanya pengaruh akselerasi yang dilakukan oleh B sepanjang perjalanannya.  B tadinya diam kemudian mengalami percepatan menuju kecepatan cahaya. Kemudian berbalik arah. Dan selanjutnya diam kembali. Karena adannya percepatan dalam gerak si B, maka gerak si B tidak bisa dikatakan gerak yang uniform. Dengan demikian kita tidak sepenuhnya bisa menerapkan rumus dilasi waktu terhadapnya. Ada koreksi percepatan di situ, karena relativitas khusus sendiri merupakan teori untuk kasus gerak yang tidak mengalami percepatan.

Pendapat ini bisa dibantah dengan mudah. Rumusan relativitas khusus (termasuk dilasi waktu) tidak memasukkan satupun suku percepatan di dalamnya. Jadi yang kita tinjau murni adalah kasus si A dan si B sudah saling bergerak relatif dengan kecepatan konstan, bukan kasus ketika si B sedang berbalik arah atau ketika memulai perjalanan. Tidak  ada  satupun persyaratan kondisi awal atau kondisi akhir dalam rumus dilasi waktu tersebut. Kemudian juga, kita bisa asumsikan planet X yang jadi tujuan si B sangat jauh, dan perjalanannya sangat lama, sehingga pengaruh dari waktu berakselerasi tadi bisa diabaikan.

Namun ada pendapat yang lebih elegan untuk menjelaskannya. Yakni dengan meninjau beberapa kasus.

Kasus pertama adalah dengan menganggap si A dan si B tidak akan bertemu selama-lamanya. si B akan menjalankan roketnya dalam satu arah (dia tidak akan kembali ke bumi). Pada kasus ini maka yang terjadi adalah si A akan melihat waktu di B lebih lambat, demikian pula sebaliknya, si B akan melihat waktu di A lebih lambat. Dan tidak ada simultanitas pengamatan antara keduanya. Kejadian X yang terjadi pada detik ke 5  dalam kerangka acuan B akan diamati belakangan oleh kerangka acuan A (misal detik ke 6), demikian pula sebaliknya, kejadian Y yang terjadi pada detik ke 5 dalam kerangka acuan A akan diamati pada detik  ke-6 dalam kerangka acuan B (padahal sama-sama terjadi pada detik ke 5 menurut masing-masing dihitung setelah keberangkatan si B). Akan tetapi, untuk penentuan siapa yang lebih muda setelah sekian tahun perjalanan, sama sekali tidak bisa ditentukan (masih paradoks rupanya, tapi begitulah sudah rumusnya Smile ).

Kasus kedua, kita memperhitungkan ketika si B balik kembali ke bumi. Pada kasus ini, si B boleh dikatakan tidak lagi dalam kerangka acuan yang inersial. Misalnya jika kita asumsikan kerangka acuan inersial adalah kerangka acuan ketika si B berangkat. Maka pada saat si B berangkat, dia diam (stasioner) terhadap kerangka acuan tersebut. Dan A bergerak  relatif (menjauh) terhadap kerangka acuan itu. Namun ketika balik ke bumi, si  B sudah tidak stasioner lagi pada kerangka acuan tersebut. Dia bergerak menjauh. Yang mengakibatkan secara total hasil pengamatannya terhadap umur dari A akan konsisten dengan hasil pengamatan A sendiri.

Sekali lagi ini fisika, bukan filsafat. Tapi saya juga kurang paham kenapa materi relativitas khusus sudah diajarkan di SMA. Padahal itu kan akan mengakibatkan siswa-siswi kehilangan pegangan.

No comments: