"There
are three kinds of falsehoods: lies, damned lies, and statistics."
Benjamin
Desraili
Kebenaran
itu bukan ditentukan oleh siapa Anda, apa gelar Anda, seberapa cerdas
Anda, tapi ditentukan oleh seberapa terbuka Anda untuk membuang
kefanatikan di kepala Anda, lantaran terobsesi dengan seabrek
pencapaian yang Anda miliki.
Sebuah
kebenaran bisa dicapai melalui diskusi. Tapi yang aneh, tidak sedikit
kita mendengar umpatan semisal, “gue itu doktor lulusan Harvard, lu
siape?” yang hakikatnya pernyataan yang sangat takabur dalam
menilai kemampuan orang lain dalam menggagaskan kebenaran. Bahkan
seorang profesor hebat dalam matematika pun ketika dikatakan ada yang
salah dengan tulisannya, biasanya dia langsung menanyakan salahnya di
mana.
Jadi
dalam tulisan ini, saya menyatakan saya bukan seorang ahli, saya
hanya pencari kebenaran. Jika
seorang men-self-declaration dirinya seorang ahli, berarti dia itu
bukan ahli. Karena ada banyak celah yang bisa kita cari untuk
menjungkirbalikkan pernyataannya tersebut.
Berbicara
tentang quick count yang sekarang ini menjadi bahan olok-olokan di
media, sebenarnya saya hanya mengajukan pertanyaan sederhana, yakni
bagaimana bisa pernyataan yang didasarkan pada data dari sample
sebuah populasi bisa mengganti data yang diperoleh dari keseluruhan
populasi tersebut. Saya bahkan pernah baca sebuah handbook
yang katanya mengatur tentang bagaimana membuat sebuah quick count
walaupun kenyataannya di dalamnya tidak terdapat sebuah pun standar
operasi (SOP) dalam statistik disebutkan. Sebuah kebenaran harus
punya alur logika yang jelas. Dalam hal ini penarikan sampel ala
quick count mestinya menyertakan argumen-argumen dasar tentang alasan
kita untuk mempercayai kesimpulan yang dihasilkan melalui metode
tersebut. Berbicara tentang statistik, sebenarnya saya juga bukan
orang statistik, dan saya juga g pernah baca paper-paper tentang
kelayakan penggunaan quick count dalam men-judge hasil pemilu sebuah
negara. Tapi argumen fundamental saya berkenaan dengan pemilu
Indonesia adalah senada dengan kalimat Desraili di atas, bagaimana
kita bisa memastikan data
dari 2 ribuan TPS bisa digunakan untuk menjudge data dari 500 ribuan
TPS? Ingat 2/500 = 0.4 persen. Kecuali Anda orang dungu, Anda
akan tahu seberapa kecil signifikansi nilai 0.4 persen terhadap
kebenaran yang 100 persen. Saya
g tau, apakah di Indonesia semuanya orang bodoh, tapi saya melihat
bahwa quick count ini tidak lebih dari akal-akalan LSM-LSM global
dalam mencari dana/duit.
Argumennya
itu mana? Misalnya saja quick count diambil untuk 5 TPS dari 20
TPS di kampung saya. Dan pada akhirnya didapatkan dari 5 TPS tadi,
pasangan X itu menang, maka apa dasar lembaga quick count untuk
mengatakan kalo di 15 TPS yang lain si X tadi juga menang. Ingat lo,
ini manusia yang punya pikiran yang complex, dalam satu keluarga aja
orang beda plihan kok. Dalam satu Individu pun, hari ini bicaranya
mau pilih X, nyatanya bisa jadi besok di TPS pilih Y (saya rasa Anda
saksikan sendiri fenomena seperti ini), lantas bagaimana kita bisa
menjudge-nya dengan begitu yakin? Bisa jadi yang terjadi adalah
pembenaran lembaga quick count ini hanya didasarkan pada feeling
saja: “ah, jangan-jangan si X memang menang di TPS yang lain.”
Tapi kan feeling bukan fakta ilmiah. Untuk sampai pada tahap
kebenaran yang mendekati 100 persen, makan argumen yang valid dan
data yang melimpah harus tersedia dengan jelas.